Apa itu stereotip? Lalu apa strategi menghadapinya?
Stephen P Robbins dan Timothy A. Judge (2010) dalam bukunya Organizational Behavior mendefinisikan bahwa stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotip merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat. Stereotip dapat berbentuk prasangka positif atau negatif, namun sebagian beranggapan bahwa stereotip adalah cenderung negatif (wikipedia.org).Â
Barker (2004) yang dicuplik oleh Murdianto (2018) dalam Jurnal Qalamuna mendefinisikan stereotip sebagai representasi terang-terangan namun sederhana mereduksi orang menjadi serangkaian ciri karakter yang dibesar-besarkan, dan biasanya bersifat negatif. Suatu representasi yang memaknai orang lain melalui operasi kekuasaan. Wah, jadi ingat nih sama istilah ekstrimis pada cerita sejarah perjuangan Indonesia. Si Pitung, Pangeran Diponegoro, Jendral Sudirman, yang kita pahami sebagai pahlawan dicap ekstrimis pada masa perjuangan oleh penguasa pada zamannya.
Dicontohkan oleh NurKhofifah (2019) bahwa orang arab saat ini memiliki stereotip positif religius/rajin beribadah, berhijab, kaya raya dengan minyaknya dan stereotip negatifnya adalah adanya penindasan terhadap kaum perempuan, teroris, kekerasan dan orang arab tinggal di gurun. Padahal faktanya belum tentu semuanya tepat misalnya tidak semua orang arab rajin beribadah bahkan ada yang non muslim, tidak semua orang arab berhijab, tidak semua orang arab kaya karena minyaknya, tidak semua orang arab melakukan penindasan dan kekerasan khususnya terhadap perempuan, tidak benar orang arab itu teroris karena mayoritas penduduknya islam karena islam bukan berarti teroris dan tidak semua orang arab tinggal di gurun. Nah karena stereotip yang berkembang, kita akhirnya berperilaku sesuai dengan stereotip yang berlaku yang jelas menimbulkan kesalahpahaman yang fatal.Â
Baca juga: Apa Itu Stereotip? Bagaimana Contoh Konkretnya?
Apakah masih ada stereotip itu pada masa kini? Apakah teralamatkan kepada anda? Mungkin saja masih ada, kita bisa mencoba meraba-raba apa istilah itu pada zaman kini saat anda membaca tulisan ini.
Namun disini yang penting diuraikan adalah bagaimana tips atau strategi menghadapi stereotipe ini? Resistensi, istilah halus dari Murdianto (2018), adalah dengan perlawanan terbuka dan perlawanan tertutup. Perlawanan terbuka adalah perlawanan secara terang-terangan, seperti menyatakan ketidaksetujuannya. Hal ini perlu dilakukan karena jika tidak, sang penerima stereotip tidak hidup, atau paling tidak, tidak cukup mendapatkan sumber daya yang memungkinkan bisa menentukan keberadaan dirinya. Tentu perlawanan ini perlu dilakukan dengan penuh perhitungan. Jika tidak memenangkan permainan, minimal draw atau tidak terlalu banyak kalah. Rumus permainan dapat digunakan, karena kelompok ini dapat saja berhadapan dengan penguasa dengan segala kekuatan dan atribut otoritasnya yang membuat permainan tidak imbang.
Berikutnya adalah dengan perlawanan tertutup. Ada empat bentuk perlawanan tertutup yang menurut catatan Murdianto, yakni: bricolage, manipulasi norma sosial, penaklukan diam-diam, dan menciptakan ruang sendiri. Pertama, bricolage. Yang dimaksud disini adalah gerundelan di antara mereka sendiri pada saat ngrumpi. Gerundelan setahu saya adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna membicarakan sesuatu dengan kalangan sendiri, tidak disampaikan pada kalangan yang dijadikan lawan pembicaraan. Ada dua bentuk dari bricolage ini yakni menertawakan diri sendiri dan membalik posisi. Menertawakan diri sendiri ini berguna untuk mengurangi rasa sakit. Sementara membalik posisi dilakukan dengan beradu argumen dengan kalangan terdidik atau kalangan penguasa.
Kedua, manipulasi norma sosial. Strategi ini dilakukan dengan cara mencari celah-celah norma sosial yang ada di masyarakat agar diterima oleh kelompok masyarakat yang memberikan stereotip terhadapnya.  Yang dilakukan pada strategi ini adalah dengan menyesuaikan diri, mengikuti kelompok dominan atau penguasa, dan  tidak menyentuh hal-hal yang sensitif.
Ketiga, adalah dengan melakukan penaklukan diam-diam. Siasat ini dilakukan untuk menaklukkan orang lain tanpa melalui perlawanan secara langsung dan terbuka. Teknik ini dilakukan dengan cara menyembunyikan diri atau menyamarkan tindakan. Meski demikian jelas tujuan yang akan dicapai adalah menaklukkan orang lain. Mencurahkan sumberdana, atau sumberdaya pada suatu acara di masyarakat tidak lain adalah merupakan upaya penakhlukan diam-diam. Mengungkapkan sindiran, Â bahkan protes terbuka terhadap stereotip yang dikembangkan oleh kalangan intelektual dan tokoh-tokohnya merupakan suatu bentuk perlawanan dengan penaklukan secara diam-diam.