Mohon tunggu...
Gamaliel Darren Prasetyo
Gamaliel Darren Prasetyo Mohon Tunggu... Mahasiswa UGM Jurusan Antropologi Budaya

Seorang mahasiswa yang mencoba menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Nilai jadi Segalanya: Wajah Pendidikan Indonesia yang Terjebak Kuantitas

29 Juni 2025   22:58 Diperbarui: 29 Juni 2025   22:58 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Mendapat nilai UN jelek, seorang siswa di Klaten memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Klaten, 2 Januari 2017. " Miris, Seorang anak yang seharusnya memasuki dunia SMA malah memilih untuk bunuh diri. Penyelidikan dilakukan dan ditemukan bahwa ia mendapatkan nilai Ujian Nasional yang buruk sehingga tidak bisa masuk di sekolah yang ia inginkan. Nilai yang seharusnya menjadi alat evaluasi, justru menjadi vonis kehidupan.

Tidak hanya itu, salah seorang teman menjalani program dari kampus di salah satu sekolah menengah di wilayah timur Indonesia. Ia menjalani tugas sebagai seorang guru dan menemukan sebuah fakta bahwa sekitar beberapa siswa SMP, tidak bisa membaca alphabet. Namun, mereka tetap naik kelas bahkan sampai di jenjang Sekolah Menengah. Suatu hal yang terlihat menyakitkan bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Meski sulit diterima, begitulah kenyataan dunia pendidikan kita. Pendidikan di Indonesia masih sangat berorientasi pada nilai, angka, dan pencapaian kuantitatif.. Dari kasus itu kita bisa melihat betapa besarnya peran nilai bagi siswa. Nilai rapor, nilai ujian, peringkat di kelas, dan indeks prestasi lainnya menjadi standar keberhasilan bagi para siswa.

Begitu juga dengan kondisi lembaga pendidikan. Banyak sekolah memilih menaikkan kelas bahkan memanipulasi nilai siswa untuk akreditasi dan pencapaian sekolah. Banyak guru menyadari kekeliruan yang terjadi dalam pola pikir dan cara kerja sekolah serta siswa-nya. Terjebak antara idealisme pendidikan yang memajukan dan tuntutan administratif dengan segala tekanan yang ada. Banyak praktik dimaklumi demi memenuhi standar sistem yang rigid dan sempit.

Kultur dan pemikiran ini juga hidup di masyarakat dalam memandang pendidikan. Banyak dari mereka yang menganggap pendidikan sebagai jalan pintas menuju mobilitas sosial keluarga mereka. Orientasi yang timbul lebih pada hsil sekolah mana yang 'bagus', peringkat sang anak, dan nilai yang diraih. Akibatnya anak-anak dibentuk untuk memenuhi ekspektasi, bukan untuk memahami dan mencintai proses belajar.

Sayangnya, permasalahan ini masih terus berjalan dari kota besar hingga ke desa terpencil sekalipun. Dampaknya tak main-main, terlihat biasa namun sangat terasa, sekarang hingga di masa yang akan datang. Anak-anak dapat kehilangan kemampuan berpikir kritis. Di usia yang menyerap dan menerima banyak  informasi ini, justru dibiasakan dengan menghafal jawaban, dan menerima informasi secara mentah-mentah. Tidak dilatih untuk mempertanyakan informasi yang didapat.

Kemudian budaya mencontek yang melekat dari kecil hingga dewasa. Integritas dan kejujuran tak dihargai lagi, yang penting adalah nilai di atas kertas. Ditambah lagi kemajuan teknologi yang membuka banyak jalan untuk mencontek. Yang terkini adalah penggunaan Artificial Intelligence (AI) di kalangan pelajar. Tidak menjadi media pembelajaran, namun media mencontek dan mencari jalan pintas. Begitu juga dengan para guru dan tenaga pendidikan yang kehilangan ruang untuk inovasi. Mereka terjebak dalam rutinitas mengajar untuk ujian. Materi pelajaran dikejar demi menyelesaikan silabus, bukan untuk membentuk pemahaman. Proses belajar menjadi mekanis, seperti pabrik yang mengejar target produksi. Sekolah pun berubah wujud menjadi lembaga pencetak nilai, bukan ruang tumbuh untuk anak.

Masalah ini tidak bisa dilepaskan dari permasalahan mendasar bersifat struktural. Pertama, kurikulum nasional kerap mengalami perubahan, namun belum menyentuh inti pendidikan secara mendalam. Perubahan yang ada lebih bersifat administratif dan teknis daripada menyentuh aspek filosofis maupun pedagogis. Akibatnya, guru kesulitan menyesuaikan diri, sementara siswa kehilangan arah. Kurikulum terus berubah tanpa memiliki dasar dan rencana beberapa tahun ke depan.  Kedua, banyak guru tidak memperoleh pelatihan profesional yang memadai, terutama yang menekankan pendidikan karakter dan pendekatan pedagogi kritis. Ditambah dengan kondisi kesejahteraan yang rendah, tak sedikit guru yang akhirnya mengajar hanya sebagai bentuk kewajiban, bukan karena dorongan hati.

Ketiga, persepsi masyarakat dan orang tua terhadap pendidikan masih berkutat pada konsep persaingan, bukan sebagai proses pembentukan manusia yang utuh. Tekanan untuk "sukses" justru menumbuhkan kecemasan dalam diri anak-anak. Mereka dibentuk untuk berhasil dalam ujian, bukan untuk berhasil dalam menjalani kehidupan. Pada akhirnya, kebijakan pendidikan nasional belum sepenuhnya mengedepankan pendekatan yang humanistik. Evaluasi dan akreditasi sekolah masih didominasi oleh angka-angka: tingkat kelulusan, jumlah siswa berprestasi, rata-rata nilai ujian nasional, dan indikator sejenis. Nilai-nilai seperti empati, keberanian, kerja sama, dan ketangguhan masih dipandang sebagai pelengkap, bukan sebagai fondasi pendidikan.

Permasalahan dapat diselesaikan dan solusi tetap mungkin diwujudkan, asalkan dimulai dari pembenahan cara kita memandang pendidikan secara fundamental. Alih-alih berfokus pada hasil akhir, pendidikan sebaiknya menitikberatkan pada proses pembelajaran itu sendiri. Pengalaman belajar yang dijalani siswa perlu mendapat apresiasi lebih besar daripada sekadar angka atau nilai akhir. Sekolah bersama para pendidik seharusnya diberikan keleluasaan untuk mengevaluasi siswa secara lebih komprehensif---melalui tugas proyek, partisipasi dalam diskusi, hingga pengamatan terhadap sikap dan perilaku, bukan semata lewat tes pilihan ganda.

Kurikulum pun idealnya dilengkapi dengan unsur-unsur yang menumbuhkan karakter dan kemampuan berpikir kritis, tidak hanya dipenuhi oleh informasi faktual. Pendidikan bukan hanya soal mengetahui apa yang benar, melainkan juga mengerti alasan di baliknya dan cara menerapkannya dalam kehidupan. Anak-anak perlu dibiasakan untuk menyampaikan opini, mengajukan pertanyaan, serta menghargai perbedaan pandangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun