Lima menit yang lalu. Aku memperbaiki posisi kacamata. Takjub memandangi pemandangan desa dari depan rumahku. Sambil mengenang pahit -- manis kehidupanku. Pernikahanku, kelahiran anak sematawayangku, juga kematian suamiku. Hanya itu peristiwa penting dalam hidupku. Sama sederhananya dengan rumah ini. Aku memperbaiki posisi duduk. Sebentar lagi, anakku, Khansa, datang dari sekolah desa. Hari ini pengumuman hasil tes beasiswa SMA kabupaten yang ia ikuti.
Dua menit yang lalu. Khansa sudah datang. Dia bahkan sudah bersimpuh di hadapanku. Menangis di pahaku. Itu jelas bukan tangisan bahagia. Aku mengelus punggungnya. "Maafkan Khansa, Ummi," Sebenarnya tak apa. Aku hanya harus lebih giat menjahit untuk membayar sekolahnya. Akhlaknya jauh lebih dari itu. Membantuku sana -- sini, kadang berjualan, rajin shalat dan berpuasa. Tak apa. Ingin kukatakan itu sejak tadi. Namun, biarlah ia menumpahkan segala kesedihannya terlebih dahulu. Perlahan tangisan Khansa hilang. Bersamaan dengan hilangnya Khansa dari hadapanku. Seakan ditiup angin semilir. Raib begitu saja. Saat ini aku tak mengelus apa -- apa. Pak Mul, pengajar Khansa di sekolah desa tergopoh -- gopoh datang. Menceritakan semuanya.
Darinya aku tahu, sepuluh menit yang lalu, saat Pak Mul memberi kabar kelulusan Khansa di SMA kabupaten, gadis itu beringsut sujud syukur. Tak pernah ia bangkit lagi setelah itu. Peristiwa penting hidupku bertambah satu. Kematian Khansa sepuluh menit yang lalu.