Mohon tunggu...
Galang Ksatria Bella
Galang Ksatria Bella Mohon Tunggu... Auditor - penulis lepas

Penulis pernah berkuliah di Hubungan Internasional Universitas Airlangga. Kini, penulis adalah pengurus Majelis Kalam Ikaran Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Surabaya, Aktivis HIPMI Surabaya, dan Pegiat HMI Cabang Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Melampaui Sekulerisme dan Fundamentalisme

12 Februari 2018   17:05 Diperbarui: 12 Februari 2018   17:24 1087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di republik yang korup dan jahil, persahabatan madani dekat dengan jurang kehancuran. Tiap pemimpin berlomba mengkhianati negeri, bersengkongkol untuk urusan pribadi dan kelompok. Hukum dan institusi dalam kondisi lumpuh. Ia tak lagi mampu menegakkan keadilan, dan meredam wabah korupsi pejabatnya. Ketamakan demi jabatan, hasrat meraih kekuasaan merajalela. Akhirnya timbulah masyarakat yang tak sepenuhnya percaya pada pemerintah. Kebaikan dan kejahatan kini semakin abu-abu.

Ruang publik terus digegerkan oleh dinamika yang terus bergulir dari kasus dugaan penistaan agama. Sebagian masyarakat memilih diam, sebagian lagi memilih turun ke jalan. Pejabat negara dari Presiden, Kapolri, Panglima TNI hingga mantan Presiden terus memberikan pernyataan. Sebagian terdengar mengada-ada, sebagian besar lagi mengundang kontroversi.

Seharusnya kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok digali lebih dalam. Betapa perlu kita meninjau kembali konstruksi pengetahuan kita tentang agama dan negara. Maka alangkah tak memadainya kalau kita, dalam suasana kejengkelan, hanya tampil dengan pekikan-pekikan normatif.

Perkara ucapan Ahok menyinggung Surat Al Maidah (51) bisa masuk dalam koridor sekulerisasi. Terlepas dari ia sadar atau tidak, ia mengajak untuk melihat dunia dan kehidupan tanpa bantuan dari penafsiran religuis. Dalam istilah Berger hal ini disebut sekulerisasi kesadaran. Tentu hal ini akan menuai ketegangan yang begitu tinggi. Khususnya berasal dari ormas Islam yang mengidamkan negara dalam kondisi neo-religius.

Yang paling membahayakan dari kasus ini bukan jika Ahok terpilih kembali. Lebih sekedar itu, kekhawatiran muncul jika apa yang diucapkan Ahok menjadi suatu pembenaran. Hal ini tentu mendesak genggaman agama atas masyarakat dan individu. Agama terdesak ke pinggir kehidupan publik, dan hanya jadi urusan personal.

Ekspresi kekhawatiran umat Islam dengan aksi demonstrasi adalah suatu keniscayaan. Aksi demonstrasi ini bukan ditempatkan sebagai produk penolakan keberagaman, tapi lebih pada; suatu embrio kebangkitan kembali Islam sebagai ideologi politik. Hal yang lumrah kemudian jika aksi demonstrasi yang bakal digelar lagi ini menimbulkan friksi dalam kelompok islam sendiri.

Islam bukanlah realitas monolitik, ia plural dan penuh warna. Perbedaan sikap resmi beberapa ormas keislaman, lebih didasarkan pada perbedaan latar belakang sosial, motif, persepsi keagamaan dan afiliasi politik. Ujungnya respon ormas muslim terhadap hal-hal yang identik dengan sekulerisasi tidaklah homogen.

Friksi internal antar ormas muslim jika dikerucutkan menjadi dua arus besar. Arus pertama adalah ormas Islam yang sifatnya akomodatif demi modernisasi komunitas Islam. Lantas karakternya terbuka untuk masyarakat plural, dan mau berbagai bahkan terhadap etika agama lain dan humanisme sekuler. Arus kedua adalah ormas Islam yang bersifat sensitif dan terobesesi.

Ide modernisasi ditempuh dengan tetap berorientasi pada Islam. Islam harus diterapkan dalam iklim sosial dan realitas sosio-kultural. Cita-cita pandangan ini adalah terciptanya masyarakat neo-religius. Jika dicari titik temu dari dua arus besar ini, masing-masing berusaha untuk merehabilitasi vitalitas muslim dalam menghadapi dunia sekuler.

Seperti yang dikatakan Yudi Latief, ruang publik harus diselamatkan dari fundamentalisme literal yang mengkooptasi agama untuk kepentingan politik partisan. Ruang publik juga harus diselamatkan dari hegemoni fundamentalisme liberal yang ingin melenyapkan keimanan dari kehidupan publik dan menolak nilai-nilai spiritual dalam jiwa politik. Begitu bahaya ketika kebenaran diklaim atas suatu kelompok, dan sama bahayanya ketika politik dan etika spiritual terpisah.

Kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok seharusnya menjadi pemicu terjadinya national healing. Hal ini perlu dilakukan dengan membawa nilai spiritual dan etis ke dalam wacana dan kehidupan publik. Tanpa kesanggupan mengijeksikan visi spiritual dan moral ke dalam kehidupan publik, keberlangsungan bangsa Indonesia berada di jurang kehancuran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun