Hari ini menandai genap dua tahun sejak pecahnya kembali perang antara Israel dan Palestina pada 7 Oktober 2023 (BBC News, 2023; Al Jazeera, 2023). Konflik ini kemudian berkembang menjadi salah satu krisis kemanusiaan paling parah dalam sejarah kontemporer Timur Tengah. Selama dua tahun terakhir, dunia seolah "dipaksa" menyaksikan bagaimana kekerasan terus bekerja secara sistematis di wilayah pendudukan Palestina, terutama di Jalur Gaza. Kekerasan tersebut tidak hanya bersifat militer, tetapi juga struktural dan simbolik, mencakup pemboman wilayah padat penduduk, penghancuran infrastruktur sipil, serta pemblokiran bantuan kemanusiaan (United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs [OCHA], 2024).
Menurut laporan Stockholm International Peace Research Institute bahwa sejak awal perang pada Oktober 2023 sejumlah rumah sakit, sekolah, dan fasilitas sipil di Gaza menjadi target utama serangan udara Israel (SIPRI, 2025). Hal itu juga dijelaskan studi berbasis penginderaan jauh oleh Scher dan Van Den Hoek (2025) yang menemukan bahwa sekitar 92,5 persen bangunan di Jalur Gaza telah rusak atau hancur hanya dalam satu tahun sejak perang dimulai. Data ini mengindikasikan bahwa penghancuran infrastruktur bukan efek samping perang semata, melainkan bagian dari strategi kekerasan terencana yang menargetkan ruang hidup warga sipil Palestina.  Selain itu, laporan Associated Press (2025) yang dirilis pada 3 Oktober 2025 mencatat bahwa Israel telah memberlakukan blokade total terhadap Gaza, menghentikan pasokan pangan, bahan bakar, dan obat-obatan. Laporan tersebut juga memperkirakan bahwa sekitar 66.000 warga Palestina telah tewas sejak pecahnya perang pada 2023. Kondisi ini menyebabkan kelumpuhan total sistem kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar di Gaza (AP News, 2025).
Tragedi Gaza selama dua tahun terakhir menyingkap wajah paling telanjang dari kekerasan modern yang beroperasi melalui bahasa keamanan dan moralitas politik. Perang ini bukan sekadar pertarungan antara dua entitas politik, melainkan manifestasi dari bagaimana kekuasaan bekerja melalui wacana - bagaimana konsep "keamanan nasional" dan "hak membela diri" dimobilisasi untuk membenarkan pembunuhan massal, blokade kemanusiaan, dan penghancuran total terhadap suatu bangsa. Bahwa konflik ini tidak lagi dapat dipahami sekadar sebagai "pertempuran sporadis" atau "aksi pertahanan diri" melainkan telah berkembang menjadi kerangka operasi wacana kekerasan yang bekerja secara sistemik.Â
Sebagaimana yang disampaikan oleh aktor intelektual Yuval Noah Harari bahwa apa yang dilakukan Israel di Gaza adalah "noda dalam sejarah Yahudi", pertaruhan moral bangsanya sendiri. Sebagaimana di dalam wawancaranya dengan The Atlantic (2024), Harari memperingatkan bahwa cara Israel merespon tragedi 7 Oktober 2023 - dengan pemboman besar-besaran dan blokade yang menewaskan puluhan ribu warga sipil Gaza sampai saat ini  justru menjadi bumerang bagi masa depan Yahudi. Menurutnya, tindakan itu tidak hanya menghancurkan Gaza, tetapi juga menghapus simpati dunia terhadap penderitaan yang dahulu menjadi fondasi keberadaan Israel: Holocaust. Ya tragedi di tahun 1939-1945 yang menjadi trauma kolektif pembantaian Nazi selalu menjadi fondasi eksistensial dan pembenaran politik Israel: "Never Again". Sedangkan sejarawan Aleida Assmann (2025) menyebut fenomena ini sebagai "instrumentalization of memory"- ketika ingatan kolektif digunakan sebagai sumber legitimasi kekuasaan. Israel menjadikan penderitaan masa lalu sebagai perisai moral terhadap kritik masa kini. Di titik inilah muncul paradoks tragis yang telah menjadi rejim kebenaran yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dikatakan tentang Israel.
Sejumlah peneliti seperti yang dilakukan Finkelstein (2021) dan Papp (2017) memperkuat asumsi di atas bahwa kekerasan terhadap rakyat Palestina merupakan bagian dari proyek kolonial yang dilegitimasi melalui narasi keamanan nasional dan perang melawan terorisme. Â Maka kekerasan menjadi instrumen utama reproduksi kekuasaan kolonial dan kontrol spasial terhadap wilayah Palestina. Meminjam pandangan Edward Said (1994) yang menafsirkan dominasi Israel atas Palestina sebagai kelanjutan dari proyek kolonialisme modern yang diselimuti oleh wacana "peradaban" dan "keamanan". Â
Membedah analisa wacana tentu tidak lepas dari Michel Foucault (1977) bahwa kekuasaan bekerja melalui bahasa dan pengetahuan, melalui bagaimana sesuatu dinamai, dijelaskan, dan dilegitimasi. Di dalam konteks ini, istilah "keamanan nasional" menjadi senjata paling ampuh untuk membenarkan kebijakan militer yang mematikan. Membaca narasi keamanan Israel beroperasi dengan dua logika: pertama, menempatkan diri sebagai korban ancaman eksistensial yang permanen dan kedua yaitu mendefinisikan seluruh rakyat Palestina sebagai potensi teroris. Maka mesin-mesin tempur militeristik menentukan target pembunuhan, dan pemberitaan media tidak henti-hentinya melaporkan nyawa menguap tanpa wajah, tanpa nama, siapa pun itu warga sipil, jurnalis, petugas medis, orang tua sampai anak-anak dan seterusnya. Ketika militer Israel memblokade jalur bantuan kemanusiaan, memutus aliran listrik dan air, serta membombardir kamp pengungsi - semuanya dilakukan dengan dalih keamanan.
Membenarkan penghancuran total Gaza sebagai "keharusan strategis" telah menjadi narasi yang terus diulang oleh para pendukung perang di Israel. Profesor Uzi Rabi dari Universitas Tel Aviv, misalnya, berulang kali menyatakan bahwa selama Hamas masih eksis, setiap warga Gaza merupakan potensi ancaman terhadap keamanan nasional Israel (Haaretz, 2024). Pernyataan seperti ini bagian dari justifikasi ideologis yang menormalisasi kekerasan dan kematian massal. Gaza dalam konteks ini menjelma menjadi ruang banalitas kekejaman modern - sebuah tragedi kemanusiaan yang dijalankan atas nama pertaruhan wacana, di mana pembunuhan sistematis dibungkus dengan bahasa moral, hukum, dan keamanan.Â
Kekuasaan modern bekerja melalui apa yang disebut discursive regime, yaitu sistem kebenaran yang memproduksi legitimasi bagi tindakan-tindakan kekerasan yang bekerja dalam bahasa yang tampak rasional - "keamanan nasional" atau "pembelaan diri". Di dalam tingkat lanjut bahwa diskursus keamanan Israel menjadi contoh nyata dari praktik biopolitik yaitu bagaimana negara mengatur kehidupan dan kematian melalui kebijakan yang menentukan siapa yang berhak hidup dan siapa yang boleh dibiarkan mati. Warga Gaza direduksi menjadi statistik, dan penderitaan mereka diubah menjadi konsekuensi logis dari kebijakan pertahanan negara (Al Jazeera, 2025). Dari sinilah terlihat bahwa perang di Gaza bukan semata konflik bersenjata, melainkan perang atas makna dan legitimasi moral kekuasaan. Diskursus tentang "keamanan nasional" dan "hak membela diri" telah menjadi dispositif baru kekuasaan yaitu seperangkat praktik dan narasi yang mengatur bagaimana dunia memahami penderitaan dan menentukan siapa yang dianggap manusia. Narasi ini mengaburkan batas antara pelaku dan korban, antara pertahanan diri dan pembunuhan massal, antara kebenaran dan kebiadaban. Hannah Arendt dalam On Violence (1970) telah mengingatkan bahaya dari hilangnya kapasitas reflektif dalam politik modern. Ketika tindakan dijalankan tanpa kesadaran moral dan keputusan diambil tanpa pertimbangan kemanusiaan, maka yang muncul adalah thoughtless action - tindakan tanpa pikiran sehingga melahirkan "banalitas kejahatan" yakni kepatuhan terhadap sistem yang menormalisasi kebiadaban dan menghapus batas moral antara yang adil dan yang jahat.
Dekonstruksi Global