Akar konflik di Gaza tidak dapat dipisahkan dari proyek kolonial modern yang dilandasi oleh ideologi Zionisme pada akhir abad ke-19 sebagai bentuk upaya reproduksi nasionalisme Yahudi sebagai respons atas anti-Semitisme di Eropa (Der Judenstaat, 1896). Klaim Zionis atas tanah Gaza yang saat itu dihuni oleh komunitas Arab Muslim dan Kristen---didukung oleh narasi historis-religius dan ide modern tentang negara-bangsa. Dukungan politik terhadap proyek ini menguat melalui Deklarasi Balfour 1917, saat Inggris menyatakan dukungan resmi terhadap pendirian "tanah air nasional Yahudi" di Palestina (Schneer, 2010). Setelah Perang Dunia I, mandat Inggris atas Palestina membuka jalan bagi gelombang imigrasi Yahudi dan memperuncing konflik antara penduduk Arab Palestina dan pendatang Zionis.
Titik balik krusial terjadi pada 1948, saat Israel mendeklarasikan kemerdekaannya, memicu Perang Arab-Israel dan pengusiran lebih dari 750.000 warga Palestina dalam tragedi yang dikenal sebagai Nakba.  Setelah Israel memproklamasikan kemerdekaan, perang pecah dengan negara-negara Arab. Gaza jatuh ke tangan Mesir pada 1949 berdasarkan Armistice Agreement. Gaza, yang kemudian menjadi penampungan pengungsi Palestina hingga akhirnya direbut Israel pada Perang Enam Hari 1967. Sejak itu, Gaza menjadi wilayah terblokade dan terisolasi dalam skema pendudukan serta perluasan pemukiman ilegal (Papp, 2006). Wilayah kecil ini pun berubah menjadi simbol nasionalisme Palestina, pusat perlawanan, sekaligus ruang hidup yang terus ditekan oleh superioritas militer Israel.  Kesepakatan Oslo (1993-1995) memberi Otoritas Palestina kendali administratif terbatas di Gaza, namun Israel tetap menguasai perbatasan, udara, dan laut. Israel menarik pemukim Yahudi dan tentaranya dari Gaza, tetapi tetap mengontrol akses darat, laut, dan udara. Hal ini membuat Gaza secara hukum internasional masih dianggap "wilayah pendudukan" (UN OCHA, 2023).Â
Di dalam konteks politik kontemporer, konflik Gaza semakin menguat dengan munculnya Hamas, yang menguasai Gaza sejak Pemilu 2006. Berbeda dengan Fatah di Tepi Barat, Hamas membawa ideologi Islamis yang menolak legitimasi negara Israel, menjadikan Gaza sasaran blokade ketat dan agresi militer berulang oleh Israel, dengan dukungan kuat dari AS dan sekutunya (Gunning, 2007; Milton-Edwards, 2008). Melalui perspektif politik ruang, Gaza mencerminkan bentuk nyata relasi kuasa kolonial: Israel sebagai negara modern dengan dominasi militer dan ekonomi memproduksi dan mengontrol ruang Gaza melalui kekerasan, segregasi, dan blokade. Sementara rakyat Palestina menempatkan Gaza sebagai ruang representasi kehidupan yang dipenuhi simbol dan memori kolektif perjuangan terhadap kolonialisasi Israel dan sekutu (Said, 1993).
Konteks Dialektika Politik Ruang Kontemporer
Menggunakan perspektif politik ruang Lefebvre (1991), Gaza bukan sekadar lokasi geografis, melainkan ruang sosial yang terus diproduksi dan direproduksi melalui kekuasaan, dominasi militer, serta wacana ideologis.  Di dalam kerangka itu, kebijakan Israel yang baru---persetujuan kabinet keamanan untuk "mengambil alih" Gaza---bukan hanya tindakan militer taktis tetapi sebuah upaya re-produksi ruang yang sistematis melalui pembatasan bantuan kemanusiaaan, mobilitas, penghancuran infrastruktur sipil, dan penghapusan simbol-simbol kultural Palestina---dari sekolah, rumah ibadah, hingga kamp pengungsi (Reuters, 2025). Di sisi lain, representational spaces---ruang yang hidup melalui makna budaya dan simbol kolektif---juga mengalami serangan sistematis. Amnesty International (2025) mendokumentasikan penghancuran masif di Khuza'a dan wilayah lain, termasuk penghancuran rumah ibadah dan sekolah, yang tidak hanya merusak struktur fisik tetapi juga menghapus memori kolektif yang melekat pada ruang tersebut. Langkah ini memiliki implikasi langsung terhadap perceived space atau ruang yang dialami sehari-hari oleh penduduk. Laporan OCHA (2025) menunjukkan bahwa 84% fasilitas kesehatan di Gaza telah rusak atau hancur, sementara akses bantuan terhambat akibat pembatasan ketat terhadap pergerakan staf kemanusiaan dan distribusi logistik. Kondisi ini memutus interaksi sosial sehari-hari yang menjadi inti kehidupan perkotaan, sekaligus membatasi kemampuan warga untuk mempertahankan hak mereka atas kota (right to the city).
Termasuk situasi terakhir, menurut laporan resmi Gaza Health Ministry (MoH), hingga 9 Juli 2025, sedikitnya 57.680 orang tewas dan 137.409 luka-luka. Dalam empat bulan terakhir saja, lebih dari 7.000 korban tewas, termasuk 773 jiwa saat sedang mencari bantuan makanan---sebagian besar adalah warga sipil (UN OCHA, 2025). Data ini mempertegas bahwa ruang Gaza telah berubah menjadi ruang kematian massal, bukan karena bencana alam, tetapi karena pilihan politik dan militer. Dalam artikulasi dialektika perebutan ruang, situasi ini menunjukkan bahwa negara kolonial modern---dalam hal ini Israel---menggunakan superioritasnya untuk menyingkirkan secara fisik dan simbolik populasi yang dianggap sebagai "gangguan" terhadap narasi nasionalnya. Lebih tragis lagi, analisis peer-reviewed The Lancet (Jamaluddine et al., 2025) memperkirakan bahwa korban kematian traumatik telah mencapai 64.260 jiwa, hampir 40% lebih tinggi dari laporan resmi. Sekitar 60% korban adalah perempuan, anak-anak, dan lansia. Para ahli bahkan memprediksi kematian tidak langsung akibat kelaparan, penyakit, dan hilangnya akses kesehatan dapat mencapai 186.000 jiwa---sebuah angka yang mencerminkan potensi genosida struktural. Di tengah blokade dan kesulitan akses darat, sejumlah negara seperti Kanada, Spanyol, Yordania, UAE, Prancis, dan Jerman memberik bantuan kemanusiaan melalui jalur udara.
Ironisnya, di tengah tragedi kemanusiaan berskala besar ini, sikap banyak negara dunia justru lebih banyak menunjukkan bungkam atau ketidakberdayaan politik. Dewan Keamanan PBB nyaris lumpuh akibat veto berulang dari Amerika Serikat terhadap resolusi gencatan senjata, bahkan saat bukti-bukti pelanggaran hukum humaniter internasional terus menumpuk (UN News, 2024; Human Rights Watch, 2024). Negara-negara Barat yang mengklaim menjunjung nilai demokrasi dan HAM justru memilih membiarkan Israel menjalankan agresinya dengan impunitas, dengan alasan "hak membela diri" yang timpang dan tidak proporsional. Fenomena ini menunjukkan bagaimana relasi kuasa dalam geopolitik ruang---seperti yang dijelaskan Edward Soja (2000)---beroperasi dalam sistem internasional. Dominasi ruang tidak hanya terjadi secara militer di darat, tetapi juga melalui diplomasi, narasi media, dan blokade ekonomi. Gaza, dalam hal ini, menjadi objek eksperimentasi kekuasaan yang dilanggengkan oleh sistem global yang timpang.
Memori Kolektif
Lefebvre (1991) menegaskan bahwa ruang adalah produk sosial yang dibentuk oleh interaksi antara praktik sehari-hari, rancangan kekuasaan, dan pengalaman simbolik masyarakat. Salah satu dimensi penting dalam kerangka ini adalah representational spaces---ruang yang sarat makna, memori, dan identitas kolektif. Di dalam konteks Gaza, representational spaces ini sedang mengalami serangan sistematis yang mengarah pada penghapusan memori kolektif. Sosiolog Maurice Halbwachs (1992) menekankan bahwa memori kolektif suatu bangsa tidak hanya hidup dalam arsip atau buku sejarah, tapi dalam ruang fisik: infrastruktur kota, tempat ibadah, sekolah, pasar, dan lain-lain yang sarat dengan nilai dan identitas kolektif. Ketika ruang-ruang ini dihancurkan, maka yang dimusnahkan bukan sekadar bangunan, tetapi identitas dan sejarah kolektif yang melekat padanya.Â