Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Bagaimana Jika Anak Mulai Puber?

26 Februari 2013   10:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:39 4808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata ‘puber’ pasti sudah sering kita dengar. Selain terjadi pada saya dan Kompasianer di masa lalu, ini terjadi pada anak-anak kita. Anak perempuan biasa ditandai dengan haid, laki-laki lewat mimpi basah. Masa mencari jati diri.

Bagaimana cara dan tanggapan orang tua Jerman yang saya kenal dalam memandang masa tumbuh kembang anak yang masyaallah kadang tak mudah untuk dimengerti ini ?

[caption id="attachment_245849" align="aligncenter" width="576" caption="Masa mencari jati diri .... (dok.Gilangagil-Kampret)"][/caption]

***

Masa puber saya

Saya masih ingat, sewaktu SD, saya termasuk paling kecil posturnya. Yang lain sudah tumbuh bongsor dan yang wanita … sudah menstruasi! Saya tingak-tinguk. Kok saya belum, ya? Kurang kacang panjang?

Saya yakin meski tanda fisik belum tampak, secara psikis saya sudah ‘lain’. Mulai tertarik memperhatikan kawan pria. Hahaha … lucu, cinta monyet barangkali. Untung saya tidak ngunggah-unggahi, menembak si Ande-Ande lumut.

Ketika memasuki kelas 2 SMP semester 2, kalau tidak salah umur 14 tahun, saya baru mengalami tanda puber ini secara nyata, haid. Segera lapor ibu. Beliau mulai mempersiapkan apa yang dibutuhkan, pembalut dan beberapa wejangan singkat. Oi. Kulit saya memang kering jadi tak seperti teman puteri lainnya yang memiliki tanda-tanda jerawat gede di wajah pada masa merah ini. Ini kelebihan juga kekurangan, ya?

Beberapa teman lelaki bahkan mulai mendekat. Aha, saya layaknya kupu-kupu keluar dari larva. Mulai seneng dandan, ingin cantik, agak feminin. Wahhh … seru, ya masa remaja itu? Semakin indah karena dunia tidak hanya untuk belajar menuntut ilmu dan mencari pengalaman baru tetapi juga bersosialisasi dengan teman sebaya. Manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan. Saya waktu itu tak berharap banyak soal pacar, hanya berdoa mendapat pasangan tepat dan terbaik dalam hidup. Walahhh … tak tahunya harus hengkang dari Indonesia.

[caption id="attachment_245850" align="aligncenter" width="451" caption="Lebih baik hati-hati dan jaga diri dalam berpacaran"]

13618751421953972849
13618751421953972849
[/caption]

OK. Balik ke babagan puber. Karena mengetahui bahwa saya sudah mulai datang bulan, orang tua saya sangat membatasi jadwal keluar rumah. Maghrib, jam 18.00 harus sudah masuk rumah. Ada banyak pemikiran yang waktu itu tidak saya pahami. Wey, berontak juga sampai harus lompat dari balkon turun ke halaman untuk mengikuti kegiatan persami. Hahaha … nuwun sewu, bapak/ibu.

Melawan itu tidak baik, tapi bagaimana ya? Sebagai bocah yang aktif rasanya tak jenak dilarang-larang, harus duduk di kamar menunggu makan malam sampai dentang pukul 21.00 berbunyi. Itu saat menyaksikan dunia dalam berita bersama keluarga, lalu tidur. Sudah, itu saja. Waaaaa ….

Saya tidak tahu apa ini karena pendidikan tradisional Jawa ala orang tua saya atau karena 99,99% saudara kandung saya laki-laki, lebih bebas dan perempuan dikekang? Barangkali sekarang berbeda.

Masa puber anak saya

Kleine Kinder, kleine Problem. Große Kinder, große Problem (red: punya anak kecil, masalah yang dihadapi sedikit, jika bertambah dewasa maka akan semakin besar dan banyak persoalan yang dihadapi si anak dan orang tua sendiri). Pepatah Jerman itu memang benar adanya.

Awalnya, si anak mulai enggan ke sekolah dan lebih memilih mengurung diri di rumah, tidak mau membuat PR, menolak belajar, tak ingin berkumpul bersama kawan-kawan, maunya bebas tak ada aturan. Ia mulai menunjukkan tanda emosional yang tinggi dan agresif.

Sejak TK sampai SD, ia selalu berkumpul dengan teman-teman perempuan, sekarang menjauh dan sering mengeluh bahwa kaum hawa itu ternyata menyebalkan dan cerewet. Padahal banyak kawan-kawan putri yang mendekati.

Saya mulai curiga ia memasuki masa puber dan berdiskusi dengan suami. Saya periksa celana-celananya sebelum memasukkan ke mesin cuci … sudah mimpi basahkah? Suami tenang-tenang saja.

Belakangan si bocah sudah mulai malu telanjang di depan saudaranya dan kami orang tuanya. Mandinya saja, dari tidak pernah mandi menjadi sering, 2 kali sehari. Walahh, di iklim tropis pasti biasa, tapinya kami di empat musim. Rambutnya rajin disisir dan mulai ingin wangi.

Ia menolak diajak ke psikiater atau psikolog lagi untuk mengurai uneg-uneg dihati. Kami turuti hobi bermain kudanya asal tugas sekolahnya beres. Kalau tidak mau, biar ia melihat akibatnya.

Dan yang terakhir, perubahan pada suaranya yang nge-bas.

Suami saya tak percaya dengan apa yang saya katakan bahwa ia sudah mulai pada masa puber. Hingga suatu hari, kekasih hati saya menemukan kondom di dalam dompetnya. Lha, rak tenan.

Mungkin saja itu dari sekolah saat pelajaran tambahan; didikan khusus soal seks. Setelahnya, saya tetap dorong suami untuk berbicara layaknya lelaki dengan lelaki. Ayo, Paaaak.

Apa tindakan dan tanggapan orang tua di Jerman tentang masa puber anaknya?

1.Biar anak belajar dari pengalamannya sendiri

AM (41) dan HS (43), adalah pasangan Hungaria yang telah 25 tahun menetap di Jerman. Mereka dikarunia dua putri N (14) dan K (8). Saat menjamu kami di acara Kaffe trinken, ada sebuah pemandangan yang agak aneh. Anak-anak sudah sejak sebelum kami datang sampai dua jaman, bermain wifii. Usai ditegur ibundanya, N berkutat dengan tablet. Sementara K bermain dengan ketiga anak kami. Beberapa saat kemudian, kami makan malam bersama. N menolak untuk bergabung dengan kami dan lari ke kamarnya. Si ayah merebut tablet dari tangannya, lantaran tak mau makan. Badannya kecil, tidak suka makan katanya.

Saya tidak bisa menikmati pemandangan ini. Pertama karena si anak tidak respek kepada tamu, menolak untuk makan bersama. Kedua, tidak baik untuk kesehatan si anak. Jam makan bukankah sudah rutin dan sebaiknya dijalani agar tidak sakit ?

AM mengatakan kepada si anak. Jika tetap kekeh tak mau makan bersama kami tidak mengapa, terserah tetapi tak ada menu ekstra untuknya. Lapar ditanggung sendiri. Harus disiplin, tambahnya. Saya hanya tersenyum dan mengangguk mendukung perkataannya.

Selanjutnya, AM dan HS bercerita banyak soal si gadis pirang. Argh. Sudah 14 tahun, mungkin saja sudah memasuki masa puber meski dari fisik belum terlihat. Ia berbadan tipis, belum ada yang menonjol. Mungkin secara emosional hormon itu telah bekerja keras mempengaruhinya.

Kabarnya di sekolahpun, N mendapat masalah; tidak mau membuat PR, tidak pernah belajar. Nilainya selalu turun. Begitu mendapat nilai jelek, ia menyesal dan berjanji untuk berubah. Tetapi lagi-lagi, ia bersikap sama untuk waktu berikutnya. Sering si gadis manis belajar untuk tes satu hari sebelum hari H (pada malam hari), panik dan menangis tersedu-sedu. Si ibu hanya mengatakan bahwa inilah yang dimaui, ya dijalani.

Hmm. Kedua orang tuanya tetap memberikan jatah menonton TV, bermain Wifii di akhir pekan, memegang tablet di sore hari dan seterusnya dan tidak memaksa si anak untuk melakukan ini itu sebagai ganti dari kesempatan emas itu. Menurut AM, kalau tidak mau ya, biar saja, toh nanti belajar dari kesalahan adalah guru yang terbaik.

2.Dekati dengan hati agar anak puber bisa dikendalikan

Kawan dekat saya, pasangan Turki mengatakan bahwa ketiga anak lelakinya (12, 10 dan 7) termasuk dalam kategori aman-aman saja. Belum ada gejala yang mengkhawatirkan dengan perkembangan fisik dan psikis mereka. Atau belum, ya?

Sebagai keluarga pecinta sepak bola, kegiatan mereka lebih banyak dihabiskan untuk berada di lapangan hijau atau menonton pertandingan sepak bola di TV. Selain itu TV dan Handy adalah hiburan ajeg bagi keluarga ini. Setiap anak mendapat Iphone. Walaaaah. Menurut teman dekat saya ini, fasilitas sebagai alat komunikasi dan penghargaan bagi mereka karena melaksanakan tugasnya menuntut ilmu dengan baik dan benar. Bukan siswa bermasalah.

Si ibu menceritakan kepada saya bahwa anak-anaknya amat dekat dengannya. Ciuman dan pelukan kasih sayang selalu berlimpah. Anak-anaknya itu begitu penurut. Bahkan ketiganya amat takut membuat marah si ayah. Meski tidak terlalu dekat dengan bapaknya, anak-anak itu taat perintah. Entah karena hormat atau takut. Jadi, selalu berusaha untuk melakukan semua, yang terbaik.

3.Seperti memainkan layang-layang

[caption id="attachment_245852" align="aligncenter" width="614" caption="Tarik ulur layang-layang"]

13618753251841732480
13618753251841732480
[/caption]

Kawan saya yang lain, pasangan Jerman-Swiss yang memiliki anak usia 15, 12 dan 10 lain lagi. Mereka ini memang sering dibuat pusing putra-putrinya. Ada satu trik yang menarik dari mereka, bermain layang-layang. Membebaskan anak-anak mereka terbang tinggi layaknya mainan ini, di atas langit bersama angin yang deras. Jika sudah mau jatuh, tali ditarik, digulung. Jika sudah anteng berada di pucuk, tambah diulur benang dalam bundelan. Jika sudah tak ada angin, tarik layang-layang. Kemasi, besok lagi.

Banyak kursus (piano, gitar, renang) dan kegiatan lain seperti Ministranten (red: anak-anak gembala gereja) yang diikuti ketiga anaknya. Inipun diimbangi prestasi disekolah yang ciamik. Hebat.

4.Pergi ke ahlinya

Seorang tetangga yang single parent merasa kewalahan membesarkan ketiga anaknya. Biasanya ia lebih memilih mengantar si anak ke psikiater satu kali dalam dua bulan, demi menyelesaikan permasalahan. Inipun dianggap si emak sebagai pencucian jiwa dan hati si anak. Lewat ahlinya ini, si wanita merasa benar-benar terbantu. Kalau sendirian, ia tak sanggup.

Untung saja, masa puber kedua anaknya yang umuran 21 dan 19 sudah usai. Masih ada satu PR, si bungsu (14 tahun). Banyak kejadian yang membuatnya kalut. Namun, pengalaman menemani anak pertama dan kedua di masa puber, sepertinya memberi kekuatan sendiri padanya. Sudah biasa. Si ibu juga memasukkan si ragil ke Ministranten saat kedua kakaknya mengikuti palang merah Jerman.

***

Begitulah pengalaman saya dan kawan-kawan dekat yang saya kenal di Jerman. Bagaimana dengan pengalaman Kompasianer? Apa yang telah atau akan Kompasianer lakukan dalam menghadapi masa puber anak?

Semoga tak ada cerita Malin Kundang, atau kenyataan peribahasa “kecil-kecil anak kalau sudah besar menjadi onak”. Karena anak itu amanah Tuhan, sebaiknya dijaga. Namun, ya ampuuuuun, untuk melakukannya … adalah hal yang tak mudah. T-i-d-a-k. (G76).

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun