Kebetulan aku pulang ke Semarang bulan Agustus. Sebagai admin dan co founder Komunitas Traveler Kompasiana dan founder dari "My Bag is Your Bag" (komunitas yang tujuannya mengumpulkan tas kain di Jerman untuk dibagikan ke Indonesia supaya ramah lingkungan), aku punya ide untuk membagikan tas berisi alat tulis, sikat dan pasta gigi, apel, mi instan dan ... beras! Itu disepakati para admin lain, walaupun dana dari Koteka nggak ada. Untung udah ada sumbangan dari para guru di Jerman. Jadinya patungan.
Oh, ya. Semua info tentang kegiatan itu sudah ada di artikel yang ditulis untuk Komunitas Traveler Kompasiana, silakan cek, ya dengan label "Kotekaction" atau "Kotekatalk"
Nah, karena pembagian kepada anak jalanan di Pondok Boro itu direncanakan hari Sabtu, akupun pergi ke toko retail "A" di depan gang, Jumatnya.
"Maaf, nggak ada stok beras." Kata penjaga kasir yang kayaknya masih baru. Dia nggak tahu, kapan stok beras akan datang. Belakangan sampai akhir Agustus pun, toko itu nggak ada stok beras sama sekali. Nasib.
Aku mengingat-ingat lagi. Ke mana lagi aku bisa membeli beras? Tentu di tempat yang nggak jauh dari rumah. Terlintas nama "Swalayan A" yang aku sudah lama tahu. Sejak remaja, aku suka belanja ke sana karena memang apa-apa ada, palugada (apa lu mau, gua ada). Sekalian belanja, cuci mata sambil ngadem, ah. Maklum, Semarang kota pantai, panas banget. Berasa kalau pecahin telur di atas aspal, matang! "Srenggg ...."
Dari rumah, aku sengaja jalan kaki. Pikirku nggak jauh. Sekalipun panas, aku tetap bisa pakai payung. Kebetulan! Mumpung nggak bakal dikira sebagai orang gila. Tahu nggak sih? Di Jerman aku suka dikira gila karena nggak hujan kok, pakai payung. Padahal kan menurutku, payung untuk melindungi dari panas dan hujan. Sementara di Jerman, panas sangat dihargai sebagai berkah supaya kulit hangat, sehat dari vitamin D dan coklat. Yahhh ... beda negara, beda cara memandang matahari. Payung hanya dipakai saat hujan.
Sampai di toko itu 10 menit. Aku menyeberang jalan sambil berdoa "jangan sampai ketabrak." Maklum, pola menyetir mayoritas masyarakat Indonesia masih serampangan, ganas, belum serapi dan setertib di Jerman. Jadinya, walau aku sudah 11 tahun bersepeda motor selama di Indonesia dan 20 tahun menyetir mobil di Jerman, aku lebih memilih jalan kaki atau taksi online saja ketimbang naik motor atau mobil sendiri. Aku tertib, semuanya sembarangan. Rambu-rambunya juga nggak sebanyak di Jerman. Pusing!
Di swalayan, aku pun mulai membeli keperluan untuk acara kolaborasi Koteka dengan Semarkutigakom itu. Ternyata, tidak semudah kata-kata. Di atas beras yang mau aku beli tertulis peringatan ketentuan membeli beras:
- 10 kg boleh beli 1
- 5 kg boleh beli 2
- 2,5 kg boleh beli 5
Ladalah, artinya setiap pelanggan hanya boleh membeli 10 kg saja. Aku bingung, jumlah anak jalanan yang akan dbagi nanti ada 60 anak. Kalau hanya 10 kg, masak hanya dikasih 0,166 kg atau 166 gram per-anak? Duh.
Aku putar otak. Aha. Beras yang aku beli aku titipkan ke tempat penitipan barang di lobby belakang. Kemudian, aku jalan, putar-putar lagi untuk belanja kebutuhan sehari-hariku selama tinggal di Semarang, dan membeli beras 10 kg sebelum menuju kasir. Lumayan. Tapi, mau mengulangi cara yang sama karena kupikir berasnya kurang banyak, aku geleng kepala. Ngeri melihat barang yang aku beli, sekeranjang penuh! Argh....
***