Malam hari sebelum tidur, saya mengecek email. Dari sekian banyak email, ada satu yang paling menarik. Itu dari guru agama tempat saya menimba ilmu di Jerman sampai tiga tahun mendatang. Si ibu yang mengajarkan kami 5 agama (Yahudi, Kristen, Budha, Hindu dan Islam), menjawab pertanyaan saya tentang berapa nilai agama saya untuk tengah semester ini.
Jawaban perempuan berambut pendek itu membuat saya meledakkan tawa.
"Kenapa, bu? Ada yang lucu? Dari sofa, suami menghampiri saya yang masih menghadap laptop di meja.
"Nilai agama dapat 1, nih." Tangan saya menunjuk pada layar, di mana surel baru saja saya baca.
"Wah, kalau begitu aku harus beli hadiah buat kamu. Kamu minta apa? Nilai yang lain bagaimana?" Halah, nggak usah! Suami berlagak royal. Untung saja saya bukan cewek matere, dari kecil tidak terbiasa mendapatkan hadiah walaupun nilainya bagus. Dan lagi, sudah punya semua. Lebih baik uang ditabung untuk keperluan lain. Iya, kan?
Beberapa jam kemudian, beberapa teman kelas yang dekat dengan saya, japri di WA. Mereka menanyakan apakah saya mendapat jawaban dari guru agama tentang nilai hasil ulangan. Tentu saja saya cerita apa adanya. Ternyata itu memancing kemarahan mereka karena dari kemarin-kemarin sudah bertanya, tidak dibalas-balas sampai hari ini. Mereka menyangka, si guru pilih kasih. Sengaja saya tidak cerita bahwa saya baru saja beberapa jam sebelumnya mengirim e-mail tapi langsung dibalas, sebab itu akan memperkeruh suasana. Saya nggak mau ibu guru jadi kambing hitam.
Segera saya tenangkan mereka bahwa mereka harus bersabar, bahwa mungkin saja sebentar lagi akan dibalas karena sedang sibuk. Merekapun mengiyakan dugaan saya.
Tulislah yang baik-baik
Tak berapa lama, saya merenung. Mengapa bisa begitu kejadiannya? Apakah ini ada hubungannya dengan pertanyaan kalimat yang saya kirim? Di surel saya, saya tidak langsung menanyakan nilai agama saya.
Pertama tentu menyapa dan menanyakan kabar beliau. Kedua, saya juga mengutarakan perasaan betapa online schooling itu sangat memusingkan. Kadang connect, kadang enggak karena Senin kemarin misalnya, guru dan siswa sekota ribut karena banyak sekolah yang tidak bisa online karena overloaded provider Alfa view yang dipakai banyak sekolah. Akibatnya, proses belajar daring tidak bisa dilaksanakan dengan baik. Selain itu, semakin banyak tugas yang harus dikerjakan dan kertas yang harus dibaca. Menumpuk satu dengan lainnya. Kalau saya sehari 7-8 jam sekolah, kepala bisa panas memandang tumpukannya. Nyelip-nyelip begitu lah. Makanya berharap semua kembali normal, bisa bertemu dengan bu guru dan teman-teman. Ketiga, baru saya menanyakan tentang nilai saya. Sebagai penutup, saya mendoakan guru saya yang umurnya hampir 60 itu tetap sehat dan bahagia selama pandemi. Sayapun berharap bahwa minggu ini adalah minggu yang baik bagi beliau.
Isi surel dibalas dengan cepat dan rasa senang dari bu guru agama. Katanya, beliau mengucapkan terima kasih telah mengirim surat yang isinya manis dan baik sekali. Doa yang sama beliau kirim untuk saya. Sebagai penutup, nilai saya dikasih 1. Untuk Jerman ini nilai paling top. Sedangkan nilai paling buruk adalah 6. Kalau dulu waktu sekolah di tanah air, nilai 10 adalah nilai paling top, jika 1 malah buruk sekali, ya? Bagai bumi dengan langit.
Cintai guru seperti kita ingin dicintai guru
Pikiran saya kembali melayang-layang. Mengapa e-mail kepada guru yang sama, ditanggapi berbeda? Saya tidak tahu sebabnya. Hanya saja, kalau saya jadi guru, punya murid yang baik dan manis, pasti akan senang, dibanding ketemu yang sebaliknya.
Jika kita mencintai guru seperti kita ingin dicintai sang guru, pasti kita akan mendapatkan hal baik, keuntungan tersendiri. Model mencintai atau menghargai guru ala Jerman dan Indonesia itu beda. Kadang saya geleng kepala tetapi begitulah dua dunia; barat dan timur. Budaya yang hidup di dalamnya memang sangat berbeda.
Hal itu pernah diceritakan beliau pada awal-awal mengajar kami di kelas saat pandemi gelombang satu. Katanya salah satu murid yang dari negara pengungsi ada yang menangis karena ada murid dari Jerman yang berkata tidak sopan kepada guru agama. Karena sudah biasa, bu guru agama sebenarnya tidak apa-apa, malah justru murid yang tidak terima alias sakit hati. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Hargai dengan cinta.
Tambah beliau, ada perbedaan cara murid dari negara Asia dan negara Eropa dalam mencintai atau menghargai beliau sebagai guru. Dari cara berbicara dan cara bersikap juga berbeda. Guru agama kami menganggap ini adalah bawaan kebudayaan dan didikan timur dari siswa yang bersangkutan. Hal yang baik yang patut dicontoh. Banyak generasi muda Jerman yang sudah kehilangan tata krama dalam menghormati guru atau orang yang lebih tua. Meski sebenarnya, masih ada yang baik-baik.
Nilai 1 karena tes model hafalan
Oh, ya. Untuk nilai 1 itu tentu bukan karena saya pintar, brilliant, intelegensianya tinggi, ya? Mana bisa? Bahasa Jerman itu njlimetnya bikin rambut saya tegak seperti kena setrum. Walaupun sudah bertahun-tahun tinggal di Jerman, tata bahasa saya acak-adut. Bisa ngomong lancar tapi nabrak-nabrak dan tidak "Hochdeutsch" atau bukan bahasa Jerman yang inggil, melainkan "Umgangsprache" alias Bahasa Jerman pasaran. Xixixixi, yang penting bisa untuk belanja dan berkomunikasi dengan orang lain supaya tidak tersesat di jalan.
Teman-teman, nilai satu itu, saya yakin bukan juga karena kalimat manis dari surat elektronik yang saya kirim karena ulangannya mudah, kok. Ceritanya, kami diberi 2 lembar materi ulangan. Jadi modelnya tes itu hafalan. Persis apa yang dibagikan, itu pula yang harus ditulis di kertas ulangan. Butuh setidaknya 2 hari ndremimil", mulut saya komat-kamit seperti dukun, ngapalin isi kertas tersebut sampai ngelotok di luar kepala. Tobat. Kalau harus begini terus, bibir saya bisa kram. (G76)