Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Apa yang Harus Dilakukan jika Kasus Corona Terjadi di Sekolah?

25 Juni 2020   18:17 Diperbarui: 26 Juni 2020   06:44 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang guru mengecek suhu tubuh siswa (Photograph by YONHAP/EPA via theguardian.com)

Saya dengar di Indonesia sekolah-sekolah belum dibuka, sedangkan Jerman sudah mulai membukanya sejak 11 Mei 2020 untuk kelas 9 ke atas dan 15 Juni 2020 untuk kelas 8 ke bawah. Alasannya karena semakin anak dewasa, semakin tahu cara menghindari penyebaran virus covid 19, jadinya kelas yang tingkatannya lebih tinggi didahulukan.

Menurut Kompas.com, UNICEF memberitakan bahwa 66% anak sekolah bosan dengan belajar Online. Itu barangkali yang mendorong pemerintah Jerman mengizinkan anak-anak kembali ke sekolah.

Oh, ya, mengapa anak-anak boring homeschooling? 

Pertama tentu kendala internet. Di negara berkembang seperti Indonesia misalnya, tidak setiap rumah punya saluran internet cepat seperti di Jerman yang negara modern. Padahal untuk belajar di rumah entah itu lewat konferensi atau pemberitahuan tugas, butuh internet. Kalau di rumah tidak ada jaringan, berarti harus beli kuota untuk HP.  Belum lagi gadget yang harus dimiliki, punya atau tidak. 

Kedua, katanya karena anak-anak merasa kurang nyaman. Namanya anak-anak, mereka ini kan sedang dalam masa pertumbuhan. Mereka mencari kontak, kelompoknya untuk  mengaktualisasikan diri sebagai makhluk sosial. Tidak  heran kalau karenanya, kadang teman jadi lebih penting dari keluarga (bapak-ibu). Eaaa.

Jadinya sejak Maret anak-anak belajar di rumah, tidak ngumpul dengan teman-teman, gerah rasanya dan tidak bisa bebas seperti dulu lagi.


Bahagianya kembali ke sekolah di masa pandemi

"Aku sudah nggak sabar menunggu Senin, waktunya kembali ke sekolah."

"Aku gembira sekali besok ketemu teman-teman baikku."

"Asyik, sekolah hanya 4 jam pelajaran, bukan 6 atau 8 seperti biasanya."

"Wah, nggak enak kata teman-teman grup 1, banyak guru yang baru karena yang umur 60 tahun ke atas nggak bakal mengajar lagi, berisiko."

Begitu celoteh anak-anak pada minggu lalu, beberapa hari sebelum sekolah dimulai.

Memang sekolah di Jerman sudah dimulai beberapa bulan yang lalu, tapi hanya khusus bagi mereka yang dinilai sudah sadar diri untuk memakai masker, menjaga jarak, dan menjaga kebersihan tangan. Mereka adalah kelas 9 (15 tahun ke atas) sampai kuliah.

Rupanya, ada kelanjutan dari keputusan pemerintah Bundes Republik Deutschland itu, yakni dengan membuka kembali sekolah bagi anak kelas 8 ke bawah per 15 Juni 2020. Namun ada tapinya, supaya ada jarak dan mudah dalam mengawasi anak-anak, kelas dibagi dua. Misalnya ada 30 anak, hanya 15 anak yang masuk, sedangkan 15 anak lainnya harus menunggu satu minggu alias tinggal di rumah.

Di sebuah SD di Tuttlingen, dibuat berbeda, 4 jam dibagi dua. Pukul 08.00-10.00 untuk kelompok pertama, lalu pukul 10.30 -12.30 untuk kelompok kedua. Jeda waktu untuk mengantisipasi gerombolan massa. 

Ah, dari awal-awal gelisah menerpa, "saya akan merasa kehilangan anak-anak. Apakah keputusan percobaan mengembalikan anak-anak kembali ke sekolah ini akan sukses?"

Saya juga takut kalau anak-anak sakit, saya khawatir jika anak-anak yang berlibur Pfingsten ke luar negeri (Italia, Swiss) akan menjadi the carriers. 

Mana anak-anak bisa saja bosan memakai masker lalu deket-deket satu sama lain. Lupa cuci tangan atau disinfektan, lalu garuk sana-sini. Aduuuh, namanya ibuk-ibuk, pikiran di kepala selalu menari-nari. Maafkan.

Pengumuman kepala sekolah bahwa kasus corona pertama terjadi 
Kata orang, jangan suka berpikiran buruk karena itu akan mempengaruhi apa yang terjadi dalam hidup ini. Dan itu benar terjadi. 

Pada hari Senin, 22 Juni 2020 adalah hari pertama anak-anak kami masuk sekolah. Pagi-pagi berangkat, riangnya bukan kepalang. Mereka pulang pun dengan wajah hip-hip ceria. Segitunya kangen sekolah, ya? Biasanya pulang rumah, mukanya sudah kesel dan capek badan.

Sampai malam-malam sedang asyik berdua nonton TV, suami saya berteriak. "Oh, nein!"

Ia tidak percaya membaca email dari kepala sekolah tempat anak kami belajar. Si ibu mengumumkan bahwa telah terjadi kasus corona yang pertama kalinya.

Dikabarkan, siswa kelas 7 dari kelompok 1 tersebut pernah pamit pulang karena sakit pada minggu pertama, di saat anak kami yang ikut kelompok 2 di rumah. Adat di sekolah selama pandemi, jika anak merasa tidak enak badan, boleh meninggalkan kelas dan menuju kantor sekretariat supaya petugas menelpon orangtua untuk menjemput.

Biasanya, petugas akan menemani anak menunggu jemputan dengan sabar, membuatkan teh atau menawari makanan kecil sampai orangtua menjemput di kantor.

Setelah anak yang dijemput tiba di rumah, anak tersebut langsung diperiksa oleh orangtuanya. Karena memiliki gejala corona, maka dites. Setelah menunggu beberapa hari, diketahui hasilnya positif.  Orangtua segera memberi kabar sekolah, supaya tidak merugikan siapapun yang berada di lingkungan sekolah. Tidak, mereka tidak berbohong, itu tidak terpuji.

Akibatnya, seluruh teman yang sekelas si anak dan para guru yang mengajar kelas tersebut, petugas sekretariat yang waktu itu bertemu dengan si anak pada hari H dikarantina selama 14 hari. Lalu, yang tidak menunjukkan gejala sakit alias sehat, bagaimana? Ya, tetap harus di rumah.

Sedih juga sih mendengarnya, Jerman sudah kekurangan guru sebelum ada corona. Di masa pandemi ini lebih seronok lagi karena guru yang berada di usia 60 tahun ke atas tidak boleh mengajar, ditambah dengan guru yang muridnya ada yang terkena corona ini. Minus-minus. Saya geleng-geleng kepala.

Berdiskusi dengan anak-anak
Setelah membaca berkali-kali informasi dari kepala sekolah tadi, kami pikir tidak ada alasan untuk melarang mereka kembali ke sekolah karena sudah ada peraturan protokol kesehatan di sekolah. Mereka ini sudah lama berada di rumah, jangan ditambah lagi.

Kami berdiskusi dengan anak-anak waktu makan. Menekankan lagi bahwa virus ini nyata tidak  main-main.  Ada lho, orang yang tidak percaya atau menganggap remeh kalau virus ini tidak exist alias cuma nakut-nakutin masyarakat saja, atau yakin tidak akan ketularan. Dari kejadian di sekolah, kami pun mengajak anak-anak untuk selalu waspada, hati-hati dan jaga diri di sekolah.

Selain masker, kami katakan bahwa menutup mulut dan hidung dengan kain atau syal dibolehkan tetapi face shield tidak disarankan. Partikel atau molekul kecil masih bisa menyelip ke hidung dan mulut meski ada tameng transparan di wajah. Untuk itu, persediaan masker sekali pakai yang cukup telah kami selipkan di tas sekolah anak-anak. Kalau lupa atau hilang, ada serep. 

Para guru di sekolah juga menerima sumbangan masker dari para orangtua. Kalau ada anak yang lupa yang lupa bawa, langsung diberi secara gratis, namun lain hari harus bayar.

Begitulah, kami berharap supaya informasi penting itu tersampaikan dengan baik dan menjadi perhatian khusus bagi anak-anak. Kalau di sekolah, orangtua kan di rumah, jadinya tidak bisa ngawasin. Makanya si anak diberitahu untuk mengikuti protokol kesehatan. 

Masker pasti paling sulit dilakukan anak-anak karena jadi pengap ditutupi mulut dan hidung, nafasnya mau putus kalau lama-lama pakai. Lalu menjaga jarak saat duduk atau berdiri, tidak bergandengan, tidak berpelukan dengan teman harus diingat-ingat. Menjaga kebersihan tangan dengan mencuci pakai sabun serta tak lupa disinfektan, jadi juru kunci tips menghindari penyebaran virus.

Jika semua sudah dilakukan, tapi masih tetap ada keluhan kesehatan, mereka harus jujur dan periksa ke dokter.

***

Meski di mana-mana sudah ada status "New Normal", tetap saja orang harus waspada bahwa gelombang kedua akan lewat. Bahaya penyebaran virus yang berhasil apik diredam di Jerman, misalnya, bisa saja lagi-lagi menimbulkan kegelisahan mengulangi cerita lalu di mana orang panik dengan berita pertambahan jumlah pasien dan korban meninggal. Tetapi itu akan bisa diatasi dengan kedisiplinan, kejujuran dan kerja sama dari semua pihak.

Semoga saja cerita terjadinya kasus corona pertama di sekolah anak kami ini menjadi gambaran sekolah-sekolah, anak-anak dan orangtua di tanah air, bagaimana harus bersikap dan tindakan apa saja yang diperlukan. Hal yang  perlu ditakuti jangan virusnya saja tapi kebiasaan anak-anak dalam menganggapinya secara serius dan selalu menjaga kebersihannya. Jangan terlena. (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun