Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tetangga adalah Musuh yang Terdekat?

26 Mei 2020   17:56 Diperbarui: 26 Mei 2020   17:56 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tetangga oh tetangga (dok. Gana)

Pernah dengar kalimat "Tetangga adalah saudara yang terdekat?" Pasti, dong. Indah nian punya tetangga yang kayak sodara. Istilahnya seperti dapat durian runtuh. Tetapi pernahkah Kompasianer membayangkan atau bahkan pernah mengalami sendiri bahwa tetangga bisa menjadi musuh yang terdekat?

Kok, bisa? Begini cerita-cerita yang bakal membuat kita mengerti.

Seorang teman dari Indonesia yang baru pindah ke Jerman curhat. Katanya tetangganya yang pada awal kepindahan sangat baik, ternyata akhir-akhir ini cari gara-gara. Karena mereka nggak punya anak, mereka sangat menyayangi anak-anak teman saya itu. 

Belakangan mereka mencoba mengatur-atur teman saya itu tentang bagaimana mengasuh anak. Tentu saja teman saya merasa nggak enak dan segera mengatur jarak supaya nggak terlalu dekat. Bukankah pola didik anak adalah hak orang tua kandung? Boleh kasih saran tapi jangan menekan.

Seorang teman dari Indonesia lainnya juga ikut nimbrung. Kisah tentang tetangga rupanya masih hangat di masa lebaran ini. Ceritanya, ia menyewakan beberapa apartemen kepada tetangga. Karena satu bangunan, mereka yang punya anak, boleh menggunakan kolam renang. 

Suatu hari, ketika ingin memakai kolam renang, teman saya kaget karena kamar mandinya kotor sekali. Iya, ada kotoran manusia di atas lantai. Jijik, kan? Ini mengingatkan saya pada kasus kotoran di lemari yang menyebabkan 77 siswa harus memakannya. Hiyyy.

Karena tahu bahwa yang pakai hanya penyewa yang punya anak, teman saya segera bertanya pada pengontrak apartemen. Tentu saja tetangga mengelak. Tetapi Tuhan Memang Maha Tahu lagi Bijaksana, tiba-tiba anak si tetangga yang baru umur 4 tahun datang dan mengaku bahwa dia yang melakukannya karena sudah nggak keburu. 

Si ibu yang punya anak malah tambah murka karena nggak mungkin anaknya yang innocent yang melakukannya dan menuding anak pemilik rumah yang lebih gede yang melakukannya.

 Sebagai puncak kemarahannya, ia mengancam akan membatalkan kontrak sewa dan pergi dari apartemen teman saya itu. Teman saya nggak ambil pusing. Zaman sekarang banyak yang butuh apartemen di kota. Lagian, masak nggak ada hormat-hormatnya sedikit sama yang punya rumah.

Sebagai penenang, saya katakan bahwa ribut dengan tetangga itu biasa. Saya ceritakan juga bagaimana tetangga seberang rumah suka mempermasalahkan hal-hal sepele. Misalnya ketika suami saya memasang logo dengan lampu di dinding rumah bawah, tetangga mengatakan bahwa lampunya bikin silau kalau malam. Mereka bilang bahwa lampu bisa menerobos jendela sampai ruang tamu. Konon, itu menyebabkan mereka nggak nyaman nonton TV.

Ketika suami saya mengebor di kamar mandi lantai bawah, mereka juga protes karena dibilang bising, meski itu dilakukan di dalam rumah. Dan masih banyak keributan kecil yang berawal dari hal-hal sepele yang sebenarnya bisa diatasi dengan toleransi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun