Dari kejadian itu, saya jadi ingat dan kilas balik. Jaman saya siaran tahun 1996-2006, orang (muda sampai tua) masih tergolong antusias untuk mendengarkan radio, meski nggak seantusias jamannya presiden Soekarno.
Banyak orang memanfaatkan jasa radio untuk bisnis, hiburan, dan entah apa lagi. Serasa hidup di dunia pelangi, deh, nggak mbosenin. Namun lambat-laun, seperti ada roh yang hilang dari radio. Generasi muda mulai meninggalkannya. Enakan youtube-an atau tiktok- an.
Julia membukakan mata kita bahwa rupanya di jaman menunduk ini, yang semua serba canggih, cepat nan maya, radio masih bisa diandalkan. Sungguh membuat saya bangga pernah menjadi bagian dari dunia radio.
Jika saja tidak ada radio yang masih hidup di zaman modern di tanah air, tidak ada yang mendengarkan radio waktu Julia siaran demi mencari Iwan, atau nggak ada orang yang merespon radio, mana mungkin Iwan ketemu? Mana bisa seorang gadis yang mencari ayahnya bahagia? Ngimpi kali, yeee.
Julia boleh bangga kalau ia dan tim berhasil menemukan Iwan dari 250 juta penduduk yang tersebar di 17 ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke. Atau minimal dari 700 ribuan penduduk Denpasar.
Nah, bagaimana dengan Kompasiana? Masihkah menarik konsumennya seperti jaman awal-awal dulu? Masihkah punya kekuatan seperti jamannya menemukan keberadaan Gayus aka Pakdhe Kartono, kompasianer Cassanova yang bikin gempar dunia blog keroyokan kita ini? Bisakah jumlah view saat menulis di Kompasiana menanjak dan menggairahkan seperti dulu lagi? Ada ide? Semoga bukan hidup segan, mati tak mau. (G76)
Ps: Kompasiana, aku tetap padamu meski sering lemot dan error. Miss you much.