Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kekuatan Radio Indonesia dalam Program "Julia Leischik" dari Jerman

10 Juli 2019   15:03 Diperbarui: 13 Juli 2019   01:12 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(thinkstockphotos.com)

"Buk, jangan lupa, besok ada acara bagus, harus nonton," suami saya sudah kasih info kalau besok ada acara Julia Leischik dari Jerman

Presenter berambut pirang itu kondang dengan pencarian orang seperti "Vermisst" (kehilangan) di channel RTL atau mendamaikan orang "Verzeih mir" (maafkan aku). Belakangan, ia ke Sat1 dengan program "Julia Leischik sucht: Bitte melde dich" (Julia Leischik dalam proses pencarian orang: tolong bantu)

 "Tele5?" Nama salah satu channel TV favorit saya, saya sebut. Itu TV yang suka memutar film-film menegangkan. Hidup serasa lebih gubrak.

"Yah, kalau yang itu horror, nggak mau. Maksudku Sat1. TV Jerman mau ke Indonesia, Buk, cari orang."

Namanya juga pernah tinggal di Indonesia dan istrinya juga orang Indonesia, suami saya paling antusias banget kalau ada sesuatu yang berhubungan dengan negara kepulauan ini.

Bungkussssss.

***

Pada hari H, kami benar-benar menonton. Kami duduk bak keluarga Simpson. Semua dalam satu sofa, nempel satu sama lain. Layar kaca mulai bergerak-gerak. Gambar-gambar berwarna-warni berseliweran memanjakan mata-mata coklat kami.

Adalah Bianca, perempuan separoh Indonesia-separoh Jerman itu ingat sekali masa kecilnya tahun 1990. Waktu itu, ia dibawa ibunya, Nancy dan pacar baru sang ibu, dari Jerman melarikan diri ke Florida, Amerika. 

Setelah dewasa, perempuan 29 tahun itu merasa ada yang hilang dari hidupnya. Benda berupa Teddy Bear yang masih ada di tangannya adalah kenang-kenangan sang ayah. Sosok bapak kandung yang entah ada di mana.

Tante Michaela dari Berlin, saudara perempuan ibu Bianca, mencoba menghubungi sang moderator acara cari orang itu di Cologne. Menurutnya, Bianca pantas bertemu dengan ayahnya, Iwan Aries dan merasakan keindahan keluarga. 

Imbuhnya, keinginan saudaranya untuk memutuskan hubungan dengan apa saja yang ada kaitannya dengan Jerman dan menghilangkan jejak dengan menikah lagi sehingga berganti nama keluarga dari suaminya, sangat tidak adil.

Tuhan memang Maha Pengasih. Untung ada sosmed, di mana tante Michaela menemukan Bianca setelah 24 tahun berlalu tanpa kontak. Dari percakapan mereka, ada keinginan Bianca untuk kembali ke Jerman. Itu terwujud pada tahun 2018. Bianca ingin mencari ayahnya!

Gayung bersambut. Julia yang punya wewenang dalam acara kesukaan kami itu menyanggupi permintaan Tante Michaela dan Bianca, mencari Iwan.

Sayang, mencari sosok orang Indonesia yang setidaknya 12 tahun tinggal Berlin karena belajar itu tidak semudah membalikkan  telapak tangan. Penduduk Jerman sekitar 80 juta orang atau hanya jumlah penduduk Indonesia.

Lantas, bagaimana? Julia meminta bantuan kantor urusan orang asing, yang memberitahu bahwa Iwan kelahiran Jakarta dan terakhir beralamat di Berlin sampai tahun 2002. Bermodalkan foto Iwan Aries, Julia keliling apartemen itu untuk mencarinya. 

Ahhhh, nggak ada yang tahu. Saya kira hal yang lumrah karena tetanggaan di kota besar Jerman nggak seperti di pedesaan, yang hubungan tetanggaannya masih sangat erat. Bersyukur dikelilingi hutan dan pegunungan Jerman. Orangnya baik-baik dan akrab, toleransinya lebih tinggi.

Apakah pencarian Iwan diberhentikan? Muncul ide Julia untuk mencari Iwan di Bali, tempat di mana kemungkinan besar pernah dihuninya. Blusukan di Bali, memperlihatkan bagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat di sana. Kemegahan pura kecil di tiap rumah, pernak-pernik yang menghiasi rumah. Begitu pula ketika berkali-kali Julia mengucapkan terima kasih "suksama." Seperti ada promosi wisata dan budaya Indonesia gratisan yang lewat di TV yang ditonton banyak orang Jerman itu. Aaaa ... wonderful Indonesia! Kalau pasang iklan TV Jerman, coba berapaaaah? Hitung sendiriiii tapi jangan hitung daun.

Julia masih menenteng foto Iwan ke mana-mana, sampai seorang ibu mengatakan bahwa ada seorang pria bernama Brata yang pasti tahu di mana keberadaan Iwan. Mereka berkawan baik. Menurut si ibu Brata bekerja di Domestik Asia, Julia pun ke sana. Saat ketemu, rupanya Brata nggak tahu kabar terakhir Iwan. Sekali lagi, informasi itu sia-sia belaka.

Sampai suatu ketika, Julia meminta bantuan Radio Cassanova di Denpasar. Radio kawula muda yang bisa saja membantu menemukan di mana Iwan berada sekarang ini. Banyak monitor yang menghubungi radio, tetapi ketika Julia menemui dan menunjukkan fotonya, ternyata bukan. Julia tidak putus asa. Menunggu dan menunggu, sungguh pekerjaan yang mendebarkan. Adakah yang tahu di mana Iwan tinggal?

Pada akhirnya, berkat gembar-gembor talkshow Julia di salah satu radio di Indonesia itu, Iwan ditemukan. Tetesan air mata bahagia Bianca dan ayahnya mampu mengharu-biru hati penonton. Mereka dipertemukan di Jerman. Herzlich willkommen in Deutschland!

***

Dari kejadian itu, saya jadi ingat dan kilas balik. Jaman saya siaran tahun 1996-2006, orang (muda sampai tua) masih tergolong antusias untuk mendengarkan radio, meski nggak seantusias jamannya presiden Soekarno. 

Banyak orang memanfaatkan jasa radio untuk bisnis, hiburan, dan entah apa lagi. Serasa hidup di dunia pelangi, deh, nggak mbosenin. Namun lambat-laun, seperti ada roh yang hilang dari radio. Generasi muda mulai meninggalkannya. Enakan youtube-an atau tiktok- an.

Julia membukakan mata kita bahwa rupanya di jaman menunduk ini, yang semua serba canggih, cepat nan maya, radio masih bisa  diandalkan. Sungguh membuat saya bangga pernah menjadi bagian dari dunia radio.

Jika saja tidak ada radio yang masih hidup di zaman modern di tanah air, tidak ada yang mendengarkan radio waktu Julia siaran demi mencari Iwan, atau nggak ada orang yang merespon radio, mana mungkin Iwan ketemu? Mana bisa seorang gadis yang mencari ayahnya bahagia? Ngimpi kali, yeee.

Julia boleh bangga kalau ia dan tim berhasil menemukan Iwan dari 250 juta penduduk yang tersebar di 17 ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke. Atau minimal dari 700 ribuan penduduk Denpasar.

Nah, bagaimana dengan Kompasiana? Masihkah menarik konsumennya seperti jaman awal-awal dulu? Masihkah punya kekuatan seperti jamannya menemukan keberadaan Gayus aka Pakdhe Kartono, kompasianer Cassanova yang bikin gempar dunia blog keroyokan kita ini? Bisakah jumlah view saat menulis di Kompasiana menanjak dan menggairahkan seperti dulu lagi? Ada ide? Semoga bukan hidup segan, mati tak mau. (G76)

Ps: Kompasiana, aku tetap padamu meski sering lemot dan error. Miss you much.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun