[caption caption="Wayang kulit di Stuttgart, Jerman"][/caption]Sungguh pengalaman yang tak terlupakan saat nonton wayang Almarhum Ki Nartosabdo dari dekat niyaga, para pemain musik gamelan dan para sinden. Atau ketika bapak masih mayang dan ibu nyinden. Bukan karena profesi tapi sebagai hobi.
Selain itu, entah sudah berapa kali saya nonton wayang semalam suntuk. Mata pedes kayak kecolok sapu tapi tetep dipaksain melek. Biasanya malam minggu. Tahu kan anak jaman dulu, kalau diajak bapak ibunya pasti mau kalau nggak mau dibalang sandal.... Sekarang beda ....bocah saikiiii, beda.
[caption caption="Promosi wayang di Jerman"]
Ndalang di Jerman 1 jam-an 90 juta?
[caption caption="Linden Museum"]
[caption caption="Ki Matthew dari London, Inggris"]
"Lah emangnya, murah? Nggak gampang jadi dalang. Tahun 2010, kata bapak, pak Manteb dapet honor minimal 50 juta... itu 6 tahun yang lalu ..." Saya berusaha meyakinkan suami saya bahwa dalang bisa dapat duit kalo sudah tenar, kondianggg.
"Terus waktu kamu mitoni dulu kamu ambil duit di bank kita berapa, sama buat si dalang?"
"Yaaaa ... Tahun berapa itu ... Cuma 2-3 jutaan. Mana dalangnya dalang cilikkkkk. Bukan dalang betulan, laranggg." Seiring berjalannya waktu, saya kira tarif dalang dari cilik sampai yang sudah punya nama sekarang naik harganya. Betul?
Peminat wayang kulit Indonesia justru orang Jerman
Ok, kembali ke nonton wayang di Stuttgart. Undangan nonton saya dapat dari seorang warga kampung yang kerja museum di mana saya adain pameran foto bersama Kampret tahun 2013. Setelah reservasi tiket dua minggu sebelumnya, kami dapat email. Diberitahukan oleh panitia bahwa tiket diambil di kasir 20 menit sebelum acara dimulai.
[caption caption="Para memain musik, niyaga ada orang Indonesia dan Jerman (Kridha Budaya Sari)"]
Dari 40 menit bonus 1 jam
Dalam undangan tertulis bahwa wayang dimukai pukul 15.30 jadi kami tiba di Stuttgart pukul 14.00. Karena masih agak lama, kami jalan-jalan sejam di pusat kota. Lumayan, cuci mata, window shopping...
Nah, sesudahnya, nonton wayang di museum. Weyyy ... saya nggak tahu kenapa sampai pukul 17.00 wayang juga belum berakhir. Kalau ditulis 40 menit, logisnya selesai pukul 16.10. Berarti kelebihan minimal 50 menit? Itu saja belum rampung kami sudah pamit karena ada acara lain di kampung. Untungnya suami ngebut, kayak Michael Schumachee. Wussss wussss .. Sampai sejam.
Ah, mas dalang. Barangkali saking seneng, ndalangnya dilama-lamainnnn. Enjoy. Suami saya sudah klakepan, ngantuk ... Anak-anak sudah pada bosen riwa-riwi kayak burung dara digabur... Duhhh jian ...
[caption caption="Goro-goro sama punakawan"]
Seumur-umur baru sekali nonton wayang , layarnya di depan. Iya, kalau dari kecil saya sampai punya anak kecil ya gitu. Urutannya, layar di dinding, dalang sebelahnya ada sinden di atas dalang ada lampu untuk menguatkan efek bayang-bayang (wayang), niyaga atau pemain musiknya dan baru penonton. Lah ini dibalikkkk ... Piye iki?
[caption caption="Anak-anak nonton wayang sambil ngglesot"]
Itu segi positifnya, berbagi dengan artis lain dan rasa ingin tahu orang jadi gede.
Segi negatifnya adalah anak-anak sampai orang tua yang penasaran pada riwa-riwi dari kursi atau tempat lesehan ke dekat panggung yang tidak keliatan karena tertutup layar. Konsentrasi penonton yang masih ingin menikmati sedikit terganggu. Tapi biarlah, kalau ditonton, ada ketertarikan itu sudah buagusss...
Dalam acara, setelah wayangan selesai, anak-anak dipersilakan untuk naik panggung, belajar nabuh dan mayang. Seruuuu ... Lain kali kami pasti sampai nutug.
***
Nah dari reportage saya tadi, saya ingin mengingatkan kompasianer yang masih ada di Indonesia khususnya di Jawa. Mumpung di sana masih banyak digelar wayangan (bukan layangan), nikmati sepuasnya ... Nanti kalau sudah kayak saya tinggal di Jerman harus bayar seratus ribuannnnn. Itu saja jaraaaaang ada. Alhamdulillahhhh meski harus bayar nggak murah.
OK. Jangan cuma nonton drama Korea atau film Bollywood eh Hollywood saja ... Adaptasi cerita Ramayana dan Mahabarata itu kekayaan bangsa yang luar biasa, dilupa sayang. Orang luar negeri ngaya belajar keluar duit, energi dan waktu meninggalkan tanah air mereka untuk belajar dan pamer. Laaaah yang deket, yang memiliki, nggak minat. Aduhh kenapa dulu nggak belajar ndalang ya??? Mana sudah jauhh. Piye, tho? Ya, sudah. Salam budaya. (G76).