Mohon tunggu...
Fajar Setiawan Roekminto
Fajar Setiawan Roekminto Mohon Tunggu...

Konsultan "Republik Tikus"

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Sekira atau Kira-kira

10 Januari 2014   16:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:57 1318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Beberapa hari terakhir, penulis mengalami sakit kepala yang luar biasa karena dibuat bingung dengan satu kata yang ditulis oleh banyak media massa. Kata yang dimaksud oleh penulis adalah kata “sekira”. Dua contoh penggunaan kata itu ada dalam kalimat, (1)”....upah minimum kota tahun 2013 (sekira Rp 1,9 juta) sudah sesuai dengan Nilai Kebutuhan Hidup Layak (meski seharusnya ditulis‘nilai kebutuhan hidup layak’-tanpa huruf besar)...” dan; (2) “... pengusaha (Apindo) sekira Rp 2,295 juta...” (18/12). Sebagai pengajar bahasa, penulis sempat berpikir keras dan mencoba mengingat seluruh apa yang pernah dipelajari, khususnya ketika belajar linguistik. Tujuannya untuk memastikan bahwa penulis belum pernah tahu kata itu serta meyakinkan diri bahwa barangkali kata itu memang benar-benar baru. Selain itu penulis juga mengorek kembali tulisan-tulisan lama dan mencari referensi dari beberapa buku barangkali diskusi mengenai kata itu pernah dilakukan namun terlewatkan. Sayangnya, penulis tidak menemukan bahan dan informasi mengenai kata sekira ini. Kegelisahan dan kepusingan mengenai kata itu bisa jadi karena penulis kurang memutakhirkan pengetahuan sehingga tidak tahu kalau ada kata baru atau karena kata ini memang belum dibakukan sehingga belum diterima dalam kosa kata bahasa Indonesia. Mustahil tentunya untuk mencari kata itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terkini.

Penulis mencoba membuka KBBI, dan memang terdapat lema “kira” yang memiliki beberapa definisi serta partikel leksikal yakni, (1) sebagai kata benda bermakna pendapat yang hanya berdasarkan dugaan atau perasaan, bukan berdasarkan bukti nyata, dugaan, sangka-sangka, agak-agak, hitungan, taksiran, rancangan; (2) sebagai kata keterangan bermakna barangkali dan mungkin (hampir pasti). Adapun turunan kata kira adalah “mengira-ngira, mengira-ngirakan, terkira, terkirakan, kira-kiraan, perkiraan, pengiraan, kiraan, sekira-kira, kiranya, dan sekiranya.” Apabila melihat contoh penggunaan kata sekira pada kalimat nomor satu di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa yang dimaksud dengan sekira adalah “kira-kira”. Penulis sempat bertanya-tanya, bagaimana ceritanya kata sekira dimaknai sama dengan kira-kira, padahal berdasarkan apa yang tertulis dalam KBBI, tidak diketemukan kata sekira, baik itu sebagai lema maupun turunan katanya.

Penulis mencoba menelusuri dalam beberapa kamus untuk mencari lema serta definisi kata sekira ini. Berdasarkan penelurusan diketahui bahwa kata sekira adalah nama keluarga, misalnya David Sekira, seorang Senior Manager-Program Management Office dan dalam kamus English-Croatian (2010), kata sekira (sjekira) bermakna ax atau kapak dalam bahasa Indonesia. Kapak adalah alat terbuat dari logam, bermata, dan bertangkai panjang atau beliung besar untuk menebang pohon/membelah kayu. Kata sekira (bahasa Kroatia) atau kapak tidak memiliki kaitan dengan “kira-kira,” misalnya dalam kalimat Sekira sa metalnom drškom 600g WOMAX terjemahan bahasa Inggris-nya, Axwithmetal handle600gWOMAX atau “Kampak dengan pegangaan besi 600 gram yang diproduksi oleh perusahaan WOMAX)”. Penulis kemudian mencoba menelusuri kamus dan tata bahasa Melayu-Malaysia, bisa jadi editor yang “meloloskan” kata itu adalah orang Malaysia, keturunan Malaysia atau pengagum bahasa dan istilah dalam bahasa Melayu-Malaysia. Merujuk kepada bahasa Melayu-Malaysia, bahasa Indonesia memang sering mengadopsi kata atau istilah bahasa Melayu-Malaysia, dan hal ini sangat bisa diterima mengingat bahasa Indonesia dan Malaysia berada dalam satu rumpun bahasa, kata borang dan rasuah misalnya sudah dibakukan dalam bahasa Indonesia. Disebabkan karena satu rumpun itulah maka terjadi kesepakatan tiga negara dan membentuk Majlis Bahasa Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia (MABBIM). Majlis ini, akan berulang tahun ke-41 pada tanggal 29 Desember 2013, menerbitkan buku berjudul Pedoman Umum Pembentukan Istilah Bahasa Melayu. Setelah penulis membaca buku itu, lagi-lagi tidak ada azas yang bisa dipakai sebagai legalitas dalam pembentukan kata sekira untuk dimaknai sama dengan kata kira-kira. Bahkan dalam Kamus Dewan Edisi Keempat yang dirujuk dari Pusat Rujukan Persuratan Melayu, kata sekira bermakna “kiranya dan kalau” dan definisi itu sama dengan penjelasan kata sekiranya dalam KBBI.

Kalaupun kemudian kata sekira ingin dijadikan istilah baru serta memiliki makna yang baru, tidak bisa setiap orang dengan seenaknya merekacipta kata karena ada seperangkat aturan yang harus ditaati, dalam hal ini proses pembentukan istilah. Perekaciptaan istilah harus melalui kodifikasi sehingga ada konsistensi dalam penggunaannya karena proses itu telah berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa. Secara semantik (teori makna atau teori arti) (Verharr, 1981) sekira tidak memiliki makna dalam konvensi bahasa Indonesia, sehingga kata itu sudah selayaknya tidak digunakan, apalagi dalam bahasa Indonesia yang baku kecuali memang ke depan ada perkembangan baru sehingga sekira bisa menjadi bagian dari bahasa Indonesia yang baku.

Jenny Kitzinger dalam bukunya The Role of Media in Public Engagement (2006) mengatakan bahwa pembaca media bukanlah konsumen yang pasif serta pembaca membawa interpretasi atas apa yang dilihat dan didengar. Untuk itulah maka media tidak sekedar menyampaikan berita tetapi sekaligus mengedukasi pembaca, salah satunya dengan menulis kata, frasa, klausa, dan kalimat dengan benar. Editor yang bekerja untuk media massa harus taat azas dalam menulis, baik itu bahasa Indonesia maupun bahasa asing. Editor bukan seorang korektor (proofreader) yang hanya mengoreksi tanda baca atau memperbaiki kata yang kurang atau tertinggal hurufnya dalam kata. Prinsipnya, seorang penulis mengerti secara detail substansi tulisannya sedangkan seorang editor memahami pembacanya. Seorang penulis seyognya tidak sekaligus merangkap sebagai korektor maupun editor karena akan terjadi bias sehingga hasil editing menjadi tidak maksimal.

Sayangnya di Indonesia, profesi editor disamakan dengan korektor teks, padahal sejatinya tidak demikian. Dalam dunia jurnalisik, editor adalah “manusia setengah dewa” yang memiliki otoritas penuh untuk meloloskan sebuah naskah, itu sebabnya pekerjaan itu sangat didambakan oleh mereka yang berkecimpung dalam dunia jurnalistik. Ambil contoh misalnya, Arthur Christiansen editor kondang Daily Express, Piers Morgan yang mengalami masa keemasan sebagai editor Daily Mirrorpada tahun 1994-2004, Max Hastings yang masuk sebagai editor di Daily Telegraph pada saat terjadi perang Fakland/Malvinas di Argentina. Selain editor dalam dunia jurnalistik, terdapat juga editor buku-buku sastra, dan salah satu yang sangat terkenal adalah almarhum William Maxwell EvartsPerkins atau biasa disapa Max Perkins merupakan editor terkenal untuk fiksi-fiksi karya Ernest Hemingway, F. Scott Fitzgerald dan Thomas Wolfe.

Indonesia tentu berbeda dengan dunia Barat, atau negara maju lain seperti Korea Selatan, Jepang, Cina dan beberapa negara ras kuning lain, karena sejatinya kita belum siap untuk menjadi bangsa yang modern dan maju. Mengapa? Masyarakat modern salah satunya dicirikan oleh kultur tulis yang kuat, sehingga profesi yang berkaitan dengan tulis menulis sangat dihargai dan dibayar mahal. Sayangnya masyarakat kita masih tradisional (meskipun malu-malu mengakuinya) yang dicirikan dengan budaya lisan yang kental, sehingga orang lebih banyak bicara daripada menulis, akibatnya pekerjaan-pekerjaan yang banyak menghasilkan uang adalah pekerjaan yang berkaitan dengan lisan dan bukan tulis. Bukankah pekerjaan sebagai makelar kasus, makelar proyek, makelar APBN, atau makelar-makelar lain jauh lebih banyak mendapatkan uang ketimbang penulis atau editor. Mereka tidak perlu menulis, cukup dengan ngobrol berjam-jam di kafe dan keesokan harinya si makelar sudah duduk santai menikmati hasil pekerjaan “budaya lisan-nya” dan itulah wajah Indonesia yang sesungguhnya saat ini. (***)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun