Mohon tunggu...
Fajar Setiawan Roekminto
Fajar Setiawan Roekminto Mohon Tunggu...

Konsultan "Republik Tikus"

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Permainan Kata-kata

10 Januari 2014   15:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:57 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Semuanya hanya masalah bahasa, kira-kira itulah yang disampaikan oleh Ludwig Wittgenstein, seorang filsuf Austria cerdas yang telah berkontribusi pada alam pemikiran di abad ke-20. Meskipun oleh para pengkritiknya ia dianggap melakukan obskurantisme atau darkening atas “pengkhianatannya” terhadap logika positivisme, setidaknya dia telah mampu membantu kita memahami bahwa sebuah kata akan berubah makna dalam rangkaian kata yang lain, yang dalam hal ini juga merupakan bagian dari diskursus strukturalisme. Dengan demikian apa yang kita pahami dan tidak hanya merupakan permainan kata yang bisa ditemukan baik dalam bahasa tutur maupun tulis. Untuk itulah ketika membaca sebuah teks atau bisa juga dikatakan sedang berdialog dengan teks, maka yang terlihat oleh si pembaca adalah sebuah permainan dan bahkan seringkali teks tersebut tidak memiliki hubungan atau berimplikasi apa-apa dengan dunia realitas kemanusiaan manusia.

Misalnya, ketika kita “berdialog” dengan teks, “….bangsa kita berjuang untuk kemerdekaan yang membebaskan dari korupsi, dari diskriminasi, dari tindakan anarkis…” maka kata berjuang, kemerdekaan, korupsi, dan diskriminasi, serta anarkis tersebut tidak memiliki makna apa-apa karena dalam realitas tidak terlihat semangat untuk berjuang, memerdekakan dan membebaskan. Selain itu berapa banyak kata “dari” dalam kalimat itu yang sebenarnya malah merusak permainan kata-kata yang sedang disuguhkan, apalagi ketika ketiga kata kerja tersebut diikuti oleh kata benda korupsi, diskriminasi dan anarkis. Pertama, korupsi adalah bagian yang sudah mendarah daging dalam diri manusia bangsa ini sehingga kata itu menjadi terinflasi dan memiliki makna yang sama, apabila diucapkan oleh siapapun, misalnya ketika seorang sopir angkot yang sedang makan di warung tegal berkata kepada temannya, “maaf aku sudah korupsi nasimu karena aku lapar sekali.” Perbedaannya barangkali terletak pada dimana kata korupsi itu “dihidangkan” dan “dikonsumsi”. Kedua, kata diskriminasi menjadi sebuah permainan kata yang kemudian menjadi sangat menggelikan apabila diikuti oleh kalimat, “….undang-undang yang bersifat diskriminatif telah dihapuskan, dikaitkan dengan kondisi yang ada saat ini dan contoh terfaktual adalah relasi pasien dan dokter dimana seringkali perlakuan penguasa terhadap dokter jauh berbeda dengan pasien. Ketiga, kata anarkis yang secara serampangan digunakan dengan tidak pernah memahami etimologi kata itu sendiri. Anarki, berasal dari bahasa Latin, anarchos yang berarti tanpa pemimpin, atau penguasa dengan kata lain semua keputusan ditentukan secaral kolegial atau komunal. Barangkali karena kata “komunal” selalu ditakuti dan diidentikan dengan komunis, maka makna kata anarkis kemudian sengaja didistorsi menjadi pengrusakan, sebagai refleksi kebencian, padahal kata yang tepat untuk pengrusakan adalah vandalisme, merujuk pada nama suku bernama Vandal di Jerman Timur yang memasuki Kekairan Roma pada abad ke-5, sebuah suku yang memiliki naluri merusak yang sangat tinggi.

Contoh permainan kata yang lain ada dalam kalimat “…..kita telah membongkar dan membangun, kita telah melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap tatanan dasar dalam kehidupan politik, sosial, hukum, dan ekonomi.” Sungguh tidak membayangkan apa jadinya ketika sebuah negara tatanan dasarnya dibongkar dan dibangun kembali. Dengan maksud apa dibongkar dan apa bentuk yang sudah dibangun kembali itu, menjadi sebuah pertanyaan yang tidak mampu untuk kita jawab. Namun kita harus mahfum, karena hal ini hanya merupakan permainan kata-kata saja. Sehingga kata “membongkar” tidak memiliki makna dan tidak memiliki implikasi apa-apa, dan untuk itu kata ini menjadi sama seperti dalam kalimat, “Maaf saya harus membongkar arsip-arsip lama untuk mencari surat saya.” Barangkali penulis teks tersebut kelewat bersemangat dalam melakukan permainan kata-kata sehingga tidak menyadari bahwa dalam sebuah permainan terdapat aturan-aturan yang harus ditegakan, meski kemudian terdapat penonton yang menjadi terbius dengan semangat permainan tersebut, penonton kritis tetap akan merasa terganggu dan risih.Permainan kata masih berlanjut dengan kata dekonstruksi dan rekonstruksi, yang semakin membuat bingung para penonton. Bisa jadi yang dimaksud dengan dekonstruksi dan rekonstruksi adalah sinonim dari membongkar dan membangun atau hanya sebagai aksentuasi atas keseluruhan kalimat yang dirangkai. Kalaupun itu benar maka kedua kata itu dapat diibaratkan juggling dalam permainan sepak bola, yang biasanya diperagakan dengan sangat cantik oleh para pemain Brazil atau Argentina, hanya juggling dan bukan permainan sepak bola itu sendiri.

Setelah 68 tahun merdeka, bangsa ini sepertinya baru sampai pada kemampuan untuk melakukan permainan kata-kata dan tragisnya lagi permainan itu dianggap menarik dan mampu menyelesaikan persoalan. Media massa telah mengemas permainan kata itu menjadi hiburan yang memabukkan, sehingga penontonnya tidak lagi mampu melakukan, apa yang dalam istilah sastra disebut aesthethic distance atau jarak estetika. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, tidak mengherankan apabila pencitraan menjadi dagangan yang sangat laris. Seorang tokoh, dengan kemampuan finansialnya, tampil di layar kaca atau dunia maya seolah-olah tidak memiliki cacat menarasikan permainan kata-kata yang bersubyek keadilan sosial, demokrasi, kemiskinan dan berpredikat mewujudkan, menegakkan dan memberantas. Lahirlah kemudian demokrasi virtual, keadilan sosial vitual, dan penurunan kemiskinan virtual. Dengan alasan inilah maka wajar saja apabila semua persoalan tidak pernah tuntas karena semua perencanaan sampai pelaksanaan dilakukan secara virtual di depan layar komputer atau notebook dengan memelototi angka-angka, misalnya pertumbuhan ekonomi naik menjadi 6 persen di tahun 2008 dibandingkan dengan tahun 1998 yang berada dalam posisi minus 13 persen, ekspor non-migas Indonesia menembus US$100 miliar, APBN menembus 1000 triliun rupiah, cadangan devisa Indonesia kini mencapai lebih dari US$78 miliar, rupiah terus stabil, angka kemiskinan terus menurun, credit rating Indonesia terus membaik, dan rasio hutang atas PDB turun secara signifikan, kini mencapai 27,8 persen, namun lucunya dalam permainan kata-kata itu tidak disebutkan berapa orang miskin yang ada saat ini cukup dimainkan dengan kata “menurun”. Saat ini ketika “musim” pemilu tiba, semua jargon yang melekat dan terpampang di spanduk, pamflet, baliho dan di media lain selalu berisi puja dan puji untuk rakyat, bagi kemakmuran rakyat, dan masih banyak lagi kalimat-kalimat manis yang mungkin sang caleg sendiri tidak pernah paham. Rakyat kebanyakan tidak lagi butuh angka dan kata-kata manis. Mereka tidak peduli bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tertinggi di antara negara G-20, setelah Tiongkok dan India atau sanjungan serta janji.Masyarakat hanya butuh sesuatu yang konkrit untuk pangan, sandang dan papan serta kesehatan. Lebih bersyukur lagi apabila bisa menyekolahkan anak dalam kondisi politik yang kondusif. Sayangnya kebanyakan “pengumbar kata-kata” terlalu yakin bahwa saat ini semua sudah membaik dan kondisi politik yang dikatakan mengalami “the quiet revolution”, istilah yang dicomot secara salah kaprah dari Quiet Revolution (bahasa Perancis:Révolution tranquille) Kanada empat puluh tahun lalu. Teks dan kata-kata dalam dunia pencitraan kita saat ini memang selalu begitu, bersifat narsistik dan lewat permainan kata-kata penonton dipasifkan dengan kalimat yang manis dan indah tapi persoalan riil yang ada tidak pernah selesai. ***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun