Mohon tunggu...
GABRIELLA VANIA RISAMANTO
GABRIELLA VANIA RISAMANTO Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Hobi saya berenang, saya menyukai kegiatan yang berhubungan dengan alam, biasanya saya suka membaca berita-berita terkini agar saya tetap update dengan perkembangan zaman.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Politik Ideolgi Diskriminasi terhadap Proses Pemilihan Capres dan Cawapres di Indonesia

19 Oktober 2022   08:10 Diperbarui: 9 Desember 2022   13:19 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Diskriminasi adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Indonesia. Pengertian diskriminasi menurut Theodorson & Theodorson (1979), adalah perilaku ketidakadilan terhadap individu maupun kelompok yang didasarkan pada sesuatu yang bersifat kategorikal atau kekhasan atribut seperti suku, agama, ras, maupun keanggotaan dari kelas-kelas sosial. Dalam hubungan diskriminasi yang diserang adalah identitas sekundernya sebut saja contohnya yaitu agama. Di Indonesia diskriminasi sudah menjadi penyakit yang berakar, hal ini dapat kita lihat dalam sejarah berdirinya Bangsa Indonesia, selama bertahun-tahun presiden di Indonesia menjabat, belum pernah ada yang beragama selain Muslim. 

Meskipun, agama bukanlah syarat utama Capres dan Cawapres mencalonkan diri, namun secara realitanya Partai Politik sendiri justru tidak berani mengambil sikap berbeda, dengan mencalonkan nonmuslim dalam bursa pemilihan presiden. Hal ini sendiri dikarenakan di Indonesia mayoritas pemilih beragama muslim. Berdasarkan survei oleh Indo Survey dan Strategy (ISS) yang dilakukan di Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Banten. Menyatakan bahwa sebanyak 85,3 persen responden menyatakan bahwa dasar pertimbangan mereka dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat adalah adanya kesamaan agama. Sedangkan di NTB sebanyak 90 persen responden mengharapkan adanya kesamaan agama, dan di Banten berkisar 59-71 persen responden menghendaki adanya kesamaan keyakinan dalam pemilihan pemimpin. 

Dari sini dapat kita lihat contoh realistis dari diskriminasi yang sebenarnya sudah berakar dalam negara kita selama bertahun-tahun, dan fakta bahwa ini merupakan kebiasaan berakar yang sudah sulit diubah karena mengatasnamakan mayoritas. Sejatinya kita tahu bahwa Indonesia merupakan negara Bhinneka Tunggal Ika yang artinya bahwa semua agama di bawah negara kita berkedudukan sama tanpa memperdulikan mayoritas dan minoritas. Namun dalam realitasnya, mayoritas yang tetap menjadi dominan, bahkan hal ini sampai berimbas pada kekuasaan tertinggi dalam negara kita.

Rasisme bukan saja menjadi pembeda antar suatu kelompok tertentu, namun melalui ideologi rasisme akan terbentuk ideologi baru dalam masyarakat yaitu timbulnya diskriminasi. Sehingga para ahli meyakini bahwa dalam setiap susunan masyarakat, ideologi ini telah berakar baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Dalam hal ini Uli Parulian Sihombing membagi diskrimininasi dalam beberapa jenis seperti:

  • Diskriminasi terhadap suku bangsa, ras, serta agama
  • Diskriminasi terhadap jenis kelamin dan gender
  • Diskriminasi terhadap penyandang disibilitas
  • Diskriminasi terhadap penderita HIV / AIDS
  • Diskriminasi terhadap kasta sosial

Berdasarkan teori jenis diskriminasi dari Uli Parulian Sihombing menyatakan bahwa hal ini sejalan dengan penerapan pemilihan Capres & Cawapres di Indonesia. Dimana pemilih di negara kita cenderung mengutamakan kesamaan agama yang akhirnya mendorong terjadinya diskriminasi terhadap agama, hal ini dapat dilihat berdasarkan survei yang dilakukan IPS (Indonesian Presidential Studies) menyatakan bahwa sebanyak 67,8% penganut agama Islam memandang agama penting ketika memilih Capres & Cawapres. Selain itu jika dilihat sejak zaman presiden pertama kita yaitu Ir. Soekarno sebagai bapak proklamator yang berlanjut sampai sekarang era kepemimpinan Joko Widodo, ada satu kesamaan dari semua presiden-presiden yang pernah menjabat di negara kita yaitu kesamaan terhadap agama.

Ini membuktikan bahwa hasil-hasil survei di Indonesia dari sejak zaman dahulu sampai sekarang tidak mengalami perubahan yang signifikan berkaitan dengan agama.  Kesadaran masyarakat yang kurang dipupuk menjadi akar dari masalah diskriminasi di negara kita yang terus berlanjut. Kesadaran masyarakat yang kurang ini tidak lain dan tidak bukan merupakan imbas dari rendahnya pendidikan di Indonesia.  Pendidikan disini menjadi hal yang sangat penting karena pendidikan membantu masyarakat memahami isu-isu seperti ini dengan lebih kritis terutama yang berkaitan dengan pemilihan Capres dan Cawapres.

Namun, dalam realitasnya perspektif dan cara berpikir rakyat Indonesia masih sangat kurang dilandasi oleh kekritisan. Dapat dilihat bagaimana sebagian masyarakat Indonesia menjadikan agama sebagai tolak ukur pilihan seseorang untuk menjadi presiden dan wakil presiden, padahal masih banyak unsur-unsur yang lebih penting selain agama yang seharusnya dimiliki oleh calon-calon pemimpin negara kita ini. Diskriminasi mau tidak mau memperalat masyarakat dalam negara kita ini. Rasionalisme tampaknya sudah tidak dipandang lagi karena tertutup oleh fakta kesamaan agama sebagai hal yang terpenting.

Selain itu mengingat bahwa Bapak Proklamator kita sendiri yaitu Ir. Soekarno pernah menyatakan bahwa sebaiknya Presiden Republik Indonesia lebih baik datang dari sosok yang beragama Islam. Soekarno menyebutkan alasannya, tak lain karena mayoritas masyarakat di Indonesia adalah beragama Islam. Maka dapat dilihat bahwa sejatinya diskriminasi sudah dimulai sejak pembangunan negara kita, pola pikir seperti ini terus berkembang bahkan mempengaruhi generasi penerus bangsa kita untuk mengerti bahwa mayoritas yang berkuasa.

Pemilihan Capres & Cawapres di Indonesia merupakan salah satu bentuk paling nyata bahwa meskipun negara kita telah menjadi negara yang berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika, namun tidak dapat dihindari bahwa praktik-praktik diskriminasi benar adanya terjadi. Dimana melalui pembahasan, kita tahu bahwa dalam pemaparan hasil survei, kriteria pemilihan masyarakat Indonesia masih banyak sekali yang didasari berdasarkan kesamaan agama. Mengingat mayoritas dalam negara kita ini memang beragama Islam, maka tidak aneh bahwa pemimpin negara diharapkan berasal dari kalangan mayoritas juga. Pola dan cara berpikir seperti inilah yang seharusnya diubah dari masyarakat negara kita ini.

Masyarakat seharusnya dapat bersikap toleransi dengan menghargai perbedaan antara kaum mayoritas dan minoritas. Selain itu pengenalan nilai-nilai pada generasi bangsa kita seharusnya dilakukan secara netral bukan berpihak pada satu sisi. Anak-anak terkesan sangat mudah meniru sesuatu yang buruk, maka ketika orangtua sebagai pendidik anak malah mengaungkan hal-hal yang berbau rasisme dan diskriminasi, tidak aneh jika generasi yang seharusnya membangun negara kita ke arah yang lebih baik, malah menjadi generasi perusak bangsa kita dengan melanjutkan pola pemikiran pendidiknya.

Negara kita masih memiliki banyak sekali kekurangan, maka pemilihan pemimpin negara kita harus dilakukan secara sungguh-sungguh, artinya pemimpin harus dipilih secara netral, contohnya berdasarkan etos kerjanya atau dapat melalui prestasi kerjanya, masih banyak lagi unsur-unsur penting yang dapat kita lihat dalam menjadi acuan kriteria pemilihan Capres dan Cawapres. Agama hanyalah identitas seseorang, tapi tidak seharusnya dijadikan acuan sebagai kriteria. Selain itu sebagai generasi penerus bangsa, kita seharusnya dapat berpikir lebih kritis karena jika bukan kita yang membawa negara kita ke arah yang lebih baik, maka siapa lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun