Mohon tunggu...
gabrielaputri
gabrielaputri Mohon Tunggu... Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengatasi Bayang-Bayang Shadow Economy: Strategi Perpajakan untuk Meningkatkan Tax Ratio

26 Januari 2025   22:03 Diperbarui: 26 Januari 2025   22:03 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia sebagai makhluk sosial mengenal berbagai kegiatan ekonomi sebagai bentuk interaksi langsung antarindividu. Kegiatan jual beli dan praktik ekonomi lainnya lazim dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bersama. Namun, di balik geliat perekonomian ini, terdapat fenomena yang menjadi tantangan besar. Bayangkan sebuah perekonomian yang berjalan di bawah radar, menghindari regulasi, dan lepas dari pengawasan. Fenomena ini dikenal sebagai shadow economy, yang kerap menimbulkan efek distorsi terhadap penerimaan negara.

Menurut International Monetary Fund (IMF) dalam working paper mereka (2018), shadow economy mencakup semua kegiatan ekonomi yang disembunyikan dari otoritas resmi karena alasan moneter, pengaturan, dan kelembagaan. Dengan kata lain, shadow economy adalah aktivitas ekonomi yang sengaja disembunyikan untuk menghindari regulasi pemerintah, termasuk pajak.

Motif di balik praktik shadow economy beragam, seperti menghindari beban pajak, regulasi yang dianggap memberatkan, atau menyembunyikan aktivitas ilegal, seperti perdagangan narkotika dan barang terlarang. Hal ini menciptakan tantangan besar bagi pemerintah dalam menjangkau sektor ini melalui regulasi yang ada.

Shadow economy terbagi atas empat jenis aktivitas menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD):
1.Produksi Bawah Tanah: Aktivitas ekonomi legal yang disembunyikan untuk menghindari pajak atau regulasi lainnya.
2.Produksi Ilegal: Aktivitas ekonomi yang melibatkan barang atau jasa ilegal.
3.Produksi Sektor Informal: Aktivitas ekonomi kecil yang tidak terdaftar secara resmi.
4.Produksi Rumah Tangga: Aktivitas ekonomi dalam lingkup rumah tangga yang tidak dilaporkan.

Di Indonesia, dampak shadow economy sangat signifikan. Dengan tax ratio yang hanya 10,4% pada 2022, jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 33,5%, shadow economy menjadi salah satu penyebab utama rendahnya penerimaan pajak. Menurut OECD, sekitar 57% tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal yang sulit dijangkau oleh regulasi.

Sebuah studi oleh Friedrich Schneider (2019) menyebutkan bahwa ukuran shadow economy di Indonesia diperkirakan mencapai 19,1% dari PDB. Jika PDB Indonesia pada 2022 mencapai Rp19.588 triliun, maka nilai shadow economy setara dengan sekitar Rp3.740 triliun. Potensi pajak yang hilang dari angka ini sangat besar dan memerlukan penanganan serius.

Shadow Economy dan Potensi Pajak

Salah satu sektor yang menjadi representasi shadow economy adalah UMKM. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2022, terdapat 8,71 juta UMKM di Indonesia. Namun, banyak dari pelaku usaha ini tidak terdaftar sebagai wajib pajak. Sebagai ilustrasi, jika 1 juta UMKM memiliki penghasilan tahunan rata-rata Rp600 juta dan dikenai PPh Final 0,5% untuk omzet di atas Rp100 juta, potensi penerimaan pajak yang hilang mencapai Rp500 miliar. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2021, sektor informal menyumbang sekitar 56,5% dari total lapangan kerja. Dengan tingkat kontribusi ini, penting bagi pemerintah untuk memperluas basis pajak guna meningkatkan tax ratio.


Pemerintah Indonesia telah merancang langkah-langkah strategis untuk mengurangi dampak shadow economy dan meningkatkan tax ratio, yang erat kaitannya dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Berikut beberapa strategi utamanya:


1. Coretax sebagai Solusi Digitalisasi Pajak
Sistem Coretax merupakan inovasi teknologi berbasis big data yang memungkinkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengelola data wajib pajak secara real-time. Dalam kerangka KUP, Coretax mendukung Pasal 35 yang mengatur kewenangan DJP untuk mendapatkan data dan informasi yang relevan dari wajib pajak. Dengan teknologi ini, DJP dapat mengidentifikasi pola transaksi mencurigakan dan meminimalkan celah yang sering dimanfaatkan pelaku shadow economy, terutama di sektor digital.

Menurut data dari DJP, sejak penerapan uji coba Coretax pada 2023, tingkat kepatuhan wajib pajak meningkat sebesar 12%. Hal ini menunjukkan efektivitas teknologi dalam mendukung amanat KUP. Namun, penerapan Coretax juga menghadapi tantangan, seperti literasi teknologi di kalangan pelaku UMKM dan serta rumitnya sistem yang ada. Oleh karena itu, edukasi dan pendampingan menjadi langkah penting untuk mendukung implementasi sistem ini.

2. Integrasi NIK sebagai NPWP

Per 1 Januari 2024, pemerintah mengadopsi kebijakan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai identitas pajak menggantikan NPWP, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 KUP dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022. Dengan kebijakan ini, sektor informal yang sebelumnya sulit teridentifikasi dapat dimasukkan ke dalam sistem perpajakan. Hal ini diharapkan meningkatkan basis data wajib pajak, yang merupakan salah satu amanat dalam KUP.


Data dari Ditjen Dukcapil mencatat bahwa hingga akhir 2023, sebanyak 99,7% penduduk Indonesia telah memiliki NIK yang valid. Dengan integrasi ini, potensi perluasan basis pajak dapat meningkat secara signifikan.


3. Insentif Pajak bagi UMKM
Berdasarkan UU HPP Pasal 7 Ayat (2), pelaku UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Kebijakan ini sejalan dengan semangat KUP untuk memberikan keadilan bagi wajib pajak sekaligus mendorong mereka untuk mendaftarkan diri secara sukarela. Dengan langkah ini, sektor UMKM yang selama ini menjadi bagian dari shadow economy dapat berkontribusi secara formal terhadap penerimaan negara. Menurut survei yang dilakukan oleh Kemenkop UKM pada 2022, sebanyak 65% pelaku UMKM merasa lebih percaya diri untuk mendaftar sebagai wajib pajak setelah diberlakukannya kebijakan insentif ini.


Shadow economy adalah tantangan besar, tetapi dengan langkah strategis seperti digitalisasi pajak, integrasi data, dan pemberian insentif, pemerintah dapat mengurangi dampaknya. Langkah ini tidak hanya memperbaiki tax ratio, tetapi juga mendukung pembangunan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Dengan kolaborasi dan komitmen semua pihak, bayang-bayang ekonomi gelap ini bisa diubah menjadi peluang terang untuk negeri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun