Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah belakangan ini menjadi salah satu isu populer di ruang publik. Program ini ditujukan untuk menyediakan makanan sehat dan bergizi secara gratis bagi siswa sekolah dengan harapan dapat mengurangi angka stunting, memperbaiki gizi anak bangsa, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa depan.
Sekilas, program ini terlihat mulia. Tidak ada yang bisa membantah bahwa pemenuhan gizi merupakan faktor penting dalam menunjang kesehatan, kecerdasan, dan perkembangan anak. Namun, di balik slogan dan janji manisnya, muncul banyak pertanyaan mendasar: apakah program ini benar-benar menyentuh akar persoalan pendidikan di Indonesia? Apakah ia menjadi solusi atas ketimpangan sekolah, mutu pendidikan yang timpang, serta kesejahteraan guru yang masih jauh dari layak?
Tulisan ini akan mencoba mengkritisi MBG dengan mengurai sejumlah masalah mendasar dalam dunia pendidikan Indonesia yang selama ini sering luput dari prioritas kebijakan negara.
1. Ketimpangan Sekolah: Kenyataan yang Tak Terjawab MBG
Salah satu masalah terbesar pendidikan di Indonesia adalah ketimpangan kualitas sekolah. Sekolah-sekolah di perkotaan besar, khususnya di Jawa, relatif memiliki fasilitas yang lebih baik, guru yang lebih berkualitas, dan akses terhadap teknologi. Sementara itu, sekolah di daerah pelosok, daerah tertinggal, atau wilayah kepulauan masih berjuang dengan keterbatasan: ruang kelas reyot, buku pelajaran minim, akses internet terbatas, bahkan kadang tidak memiliki guru tetap.
Dalam konteks ini, program MBG tidak menjawab persoalan mendasar. Katakanlah makanan bergizi gratis diberikan merata di seluruh sekolah, apakah itu akan mengurangi jurang kesenjangan kualitas antara sekolah elit di Jakarta dengan sekolah di pedalaman Papua atau Maluku? Jawabannya hampir pasti tidak.
Ketimpangan kualitas sekolah lebih membutuhkan investasi pada sarana-prasarana, akses teknologi, kurikulum yang relevan, serta pelatihan guru. Program makan gratis memang membantu kesehatan, tetapi tidak otomatis meningkatkan mutu belajar jika ruang kelas tetap bocor, guru tetap kurang, dan akses pendidikan tetap terbatas.
2. Ketimpangan Sosial: Kaya dan Miskin dalam Bingkai MBG
Program MBG juga rawan memperlihatkan ironi ketimpangan sosial. Di sekolah elit perkotaan, siswa dari keluarga kaya yang setiap hari terbiasa membawa bekal mahal tetap akan mendapat makanan gratis dari negara. Padahal, mereka bukan kelompok yang benar-benar membutuhkan.
Di sisi lain, anak-anak dari keluarga miskin memang terbantu dengan program ini, tetapi pertanyaannya: apakah tidak ada mekanisme kebijakan yang lebih tepat sasaran? Bukankah lebih logis jika program bergizi gratis difokuskan pada siswa miskin, anak-anak di daerah rawan gizi, atau keluarga penerima manfaat bantuan sosial?