Mohon tunggu...
Gabby Indrawati
Gabby Indrawati Mohon Tunggu... -

Calon CEO

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Muka Lama Rasa Baru si Hitam Kopi

8 November 2018   17:00 Diperbarui: 8 November 2018   17:02 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya Bukan pecinta kopi, tapi bukan berarti saya anti kopi atau benar-benar tak doyan.  Asing bagi  saya untuk menyeruput kopi tiap hari. Bukan karena pahitnya, lambung saya tak benar-benar kuat menerima guyuran kopi. Waktu itu saya Cuma tahu kalau kopi itu asem dan pahit pakai sekali.

Tak tahu pula apa itu Robusta dan Arabica. Kopi juga bukan minuman lazim di tengah keluarga saya yang pecinta the. Pecinta fanatic pula, bagi bapak ibu the adalah standart minuman. Lambang kepriyayian, oleh karena itu mereka mengharamkan teh celup. Teh haruslah yang masih kasar, daun the kering yang direndam air mendidih. Teh tubruk.

Namun itu dulu, sampai 4 tahun kebelakang saya sama sekali awam soal kopi. Lucunya, saya pernah nyambi di sebuah kafe di Sleman. Mereka menyuguhkan macam-macam minuman, sebenarnya hanya variasi dari tiga jenis bahan, teh, susu dan cokelat. 

Sisanya hanyalah metode dan campuran bahan. Disana saya detraining untuk mengoprasikan mesin pembuat kopi, membuat buih dari susu, sampai tetek bengek cara membersihkannya. Tapi semua pengetahuan itu hanya tinggal cerita, sebab saya tak hafal lagi cara dan langkah-langkah membikin kopi lewat mesin.

Waktu berlalu, industry kopi semakin semarak. Didukung pula dengan budaya popular, music dan film, dunia kopi makin bergairah. Kalau dulu saya Cuma tahu kopi sachet pabrikan yang entah bagaimana komposisi kopinya, atau kopi jadi-jadian yang punya banyak rasa, kini saya bisa mengolah sendiri biji kopi utuh. 

Dulu saya ndak tahu biji kopi itu dari mana berasal, maksudnya dari tanah mana ia tumbuh sekarang setiap daerah punya kopi. Dan jika dulu saya Cuma menikmati kopi di kantin kampus atau warung nongkrong, sekarang kafe yang ndak mewah-mewah banget pun menyediakan. Di Jogja sendiri,coffee shop atau warung kopi tumbuh silih berganti. Berbagai jenama, management, sampai konsep, tapi semua menawarkan kopi.

Kopi kini menjadi budaya. Tidak baru sebetulnya karena dibanyak tempat di Indonesia kopi menjadi bagian keseharian masyarakat. Di Aceh atau di Pontianak, warung kopi berderet tak pernah sepi. Mungkin yang terjadi sekarang adalah fenomena komodifikasi kopi sedemikian rupa. 

Saya menilai dulu kopi adalah antara barang konsumsi kelas bawah atau sekalian kelas atas. Pangsa pasar untuk kelas menengah belum muncul atau belum tergarap. Dahulu ngopi adalah ibarat makan mie, ada yang suka dan tidak. Masalah selera atau kebiasaan, sepele. Namun berkat tergarapnya pasar kelas menengah, edukasi dibumbui romantisme kebangkitan kopi local lewat iklan, film dan music kopi mendadak menjadi selebriti. 

Dipercaya menjadi mood booster bagi anak muda hingga tua dan pencair suasana pergaulan. Kopi Dijual dimana-mana dengan harga yang beragam. Lima ribu rupiah hingga lima puluh ribu secangkir, bahkan lebih. Tidak Cuma diiming-imingi wacana popular, kebangkitan kopi juga memungkinkan konsumen terlibat semakin jauh. Konsumen tak Cuma bisa memilih mau minum kopi apa dan dari mana, mereka juga bisa memilih bagaimana kopi diolah.

Kebangkitan kopi Indonesia seyogyanya juga mampu mensejahterakan petani kopi. Sebagai salah satu tanaman industry, konsumsi kopi Indonesia meningkat tiap tahunnya. Ditengah industry kopi yang bergairah, hendaknya juga diperhatikan nasib dari hulu yaitu petani dan lahannya. Butuh seseorang yang mengerti dan paham tentang isu kehutanan dan pertanian. 

Sebagai lulusan Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Bambang Soepijanto kiranya patut diperhitungkan. Ia merintis kariernya menjadi staff dan akhirnya kepala Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi sejak tahun 1980an hingga 1990an. Jabatan itu membiasakannya dekat dengan warga, terutama mereka yang tinggal dekat hutan atau yang mengolah lahan. Apalagi ia juga pernah menjabat Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia ditahun 2016. Kecakapannya itu diharapkan mampu membawa perubahan yang lebih baik, terutama atas niatnya mencalonkan diri sebagai anggota DPD DIY.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun