Mohon tunggu...
Gabby Indrawati
Gabby Indrawati Mohon Tunggu... -

Calon CEO

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menuju Jalanan Kota yang Humanis

7 November 2018   14:51 Diperbarui: 7 November 2018   15:12 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jogjakarta sepuluh tahun lalu sudah sangat berbeda dengan hari ini. Jika anda hendak berpergian disekitar kota Jogja pada pukul 07.00 dan 16.00, maka anda harus siap menahan sabar. Ditambah kendaraan di Jogja yang begitu beragam, becak baik bermotor atau kayuh, delman atau andong biasa beradu dengan sepeda motor online atau pribadi, mobil, trans Jogja, atau sepeda.  

Jam-jam tersebut merupakan waktu tumpah ruahnya semua orang setelah menghabiskan hari bekerja atau menuntut ilmu. Kepadatan lalu lintas, kalau belum sampai disebut macet adalah sebuah konsekuensi logis dari perkembangan kota yang semakin metropolis. Pembangunan Mall, apartemen, hotel dan atau pusat oleh-oleh yang menunjang tag line Jogjakarta sebagai kota pariwisata dan pendidikan. Belum lagi transportasi umum di Jogjakarta yang belum mampu menyerap kebutuhan mobilitas masyarakat, dan belum menjadi pilihan.

Kepadatan jalanan di Yogyakarta kini tak hanya terpusat di jalan-jalan utama, seperti Jalan Sudirman, Jalan Bantul atau Jalan Solo. Kepadatan kendaraan, jika belum sampai pada taraf kemacetan semakin sering dijumpai juga di jalan-jalan alternative. Jalan Bugisan misalnya yang tiap pagi dan sore dijejali kendaraan, tumpahan dari jalan-jalan utama seperti Bantul dan Parangtritis. Mereka yang hendak memotong rute menuju jalan lingkar selatan. Atau tengok jalan Dr. Soetomo hingga Bausasran yang tak pernah sepi kendaraan.

Arus mobilisasi manusia yang kian hari kian padat mendorong pemerintah untuk menyediakan fasilitas, meskipun hukum laju pertumbuhan kendaraan di kota-kota besar Negara berkembang  selalu tak sebanding dengan ruas jalan. Sebuah keniscayaan tampaknya jika disana-sini pembangunan fasilitas pendukung terjadi.

Bicara mengenai konsekuensi bertambahnya jumlah kendaraan, pemerintah harus memutar akal untuk menjawab kebutuhan tersebut. Rekayasa lalu lintas seperti menjadikan jalan satu arah, membuat separator, hingga mencoba mengakali ruang dengan melebarkan jalan dan membuat trotoar. 

Jalan Malioboro adalah sebuah contoh gemilang bagaimana pemerintah berhasil menyulap jalan ikonik itu agar tak hanya accessible namun juga indah dengan trotoar yang lega dan bangku-bangku. Barangkali ini lah yang ingin dilakukan pemerintah, sambil menyelam minum air. Sambil menata juga memperindah.

Sayangnya dibalik niat mulia pemerintah dalam menata dan memperindah timbul pula konsekuensi. Pemerintah, dinas terkait dan kontraktor seperti tidak punya perencanaan yang matang. Jalan mana, atau proyek mana dahulu yang dijalankan. Belum selesai proyek yang satu, muncul proyek yang lain. Ironisnya kita justru dihadang macet dengan nama pembangunan dan kemaslahatan bersama.  

Proyek pelebaran jalan dan trotoar di jalan Yos Sudarso (Kotabaru) tak hanya menambah kemacetan lalu lintas menuju perempatan Jalan Sudirman dan sebaliknya, juga mengorbankan kerindangan pepohonan yang biasa menjadi pengayom ditengah terik matahari, terutama bagi pengendara sepeda motor. 

Pernahkah anda berkendara pada siang hari, saat matahari dipuncak kepala, masih harus menunggu pula sekian detik, bahkan menit. Atau saat hujan besar tiba-tiba datang, pada pepohonan lah kita meminta waktu memakai jas hujan. Pada kerindangan pohon lah kita bersandar. Sering orang tak mau maju ke depan demi menunggu waktu dibawah bayangan pohon. 

Pepohonan tak hanya masalah sejuk atau rindang, namun dalam hemat saya merupakan cara humanisasi kota. Kota bukan melulu berisi beton dan aspal. Kota yang humanis, dengan taman dan pepohonan akan melahirkan masyarakat yang lebih manusiawi pula. Dampak-dampak itu sering kali sepele dan disepelekan, padahal tata kota yang baik mampu mengakomodasi kebutuhan warganya dan juga terencana.

Aspirasi-aspirasi seperti inilah yang kiranya perlu didengar oleh para wakil rakyat, khususnya calon anggota DPD Provinsi Jogjakarta. Bahwa penataan dan mempercantik kota perlu sinkron dan terencana. Bambang Soepijanto, namanya sempat muncul pada bursa politik pada tahun 2001 saat hendak mencalonkan diri sebagai Wali Kota Jogjakarta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun