Mohon tunggu...
Bahtiar Muslim
Bahtiar Muslim Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Belum pantas disebut kompasianer, masih lebih tepat disebut kompasnuwbier Domisili : Bekasi Jawa barat / Tegal Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Langkah Prioritas untuk Sektor Keuangan Tetap Stabil

23 Oktober 2014   16:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:00 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih segar dalam ingatan bagaimana hebatnya krisis ekonomi yang pernah melanda negeri ini pada 1998. Rupiah melemah drastis dari Rp. 2.450 per dollar AS pada Juli 1997 menjadi Rp. 14.000 pada awal Juli 1998. PDB per kapita anjlok dari US$ 1.153 di tahun 1996 menjadi tinggal US$ 471 di tahun 1998, atau hampir setara dengan PDB per kapita tahun1988 (US$ 480). Artinya, ekonomi Indonesia mundur 10 tahun ke belakang! Biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi krisis tersebut juga luar biasa besar. Negara pada saat itu harus mengeluarkan uang negara melalui obligasi rekap dalam bentuk Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) yang nilainya mencapai 656 triliun rupiah atau setara dengan 69 persen PDB Indonesia pada tahun yang sama yang besarnya 955,7 triliun rupiah. Dampak krisis juga tidak selesai dalam 2 atau 3 tahun saja. Bila menggunakan ukuran PDB per kapita, maka ekonomi Indonesia baru pulih setelah 6 tahun, yaitu pada tahun 2004 di mana pada tahun tersebut untuk pertama kalinya PDB per kapita Indonesia melampaui PDB per kapita sebelum krisis (US$ 1.188).

Semua elemen di negeri ini tentu tak ingin krisis ekonomi 1998 yang awalnya dipicu oleh krisis sektor keuangan itu sampai terulang kembali. Membayangkannya saja sudah menakutkan. Kabar baiknya adalah sistem keuangan dan sistem perbankan kita saat ini sudah jauh lebih baik daripada tahun 1998. Jumlah bank saat ini sudah jauh lebih sedikit, pengawasan perbankan juga sudah lebih ketat. Selain itu, sudah ada juga lembaga seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang dibentuk untuk menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan di bank dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan. Regulator yaitu Pemerintah dan Bank Indonesia juga sudah lebih berpengalaman dalam menghadapi krisis. Buktinya, Pemerintah dan BI melalui kebijakan-kebijakannya pada tahun 2008 mampu menghindarkan negeri ini dari dampak krisis global.

Kabar buruknya, meskipun sistem keuangan dan sistem perbankan secara umum memang sudah lebih baik dibandingkan kondisi sebelum krisis 1998, namun rupanya penyakit yang sama tetap ada: ketergantungan terhadap dana asing. Penyakit inilah yang menyebabkan ekonomi Indonesia pada 1998 tidak mampu menahan shock dari luar dan pada akhirnya menyebabkan krisis di sektor keuangan.

Ketergantungan terhadap dana asing tetap ada saat ini, hanya rupanya saja yang berbeda. Pada masa sebelum krisis 1998, ketergantungan terhadap dana asing muncul dalam wujud utang luar negeri pemerintah kepada lembaga-lembaga donor internasional. Saat ini, pemerintah telah belajar dengan terus menerus menurunkan proporsi utang luar negeri pemerintah. Data terbaru bulan Juli 2014 menunjukkan bahwa utang luar negeri pemerintah adalah US$ 125,8 miliar, atau hanya 58 persen dari total utang pemerintah yang nilainya US$ 215,8 miliar.Bandingkan dengan proporsi utang luar negeri pemerintah pada 1998 yang mencapai 82 persen. Meskipun demikian, bukan berarti ketergantungan terhadap dana asing telah berkurang, justru ketergantungan itu kian meningkat paling tidak dalam 6 tahun terakhir sejak 2008. Contohnya dapat dilihat pada komposisi kepemilikan investor asing di pasar SBN yang mencapai 37 persen dan di pasar saham yang mencapai 65 persen. Namun, yang paling perlu untuk terus diawasi datang dari sektor swasta di mana saat ini jumlah utang luar negeri swasta mencapai US$ 156 miliar, jauh lebih tinggi daripada utang luar negeri pemerintah dan Bank Sentral (US$ 134 miliar).

Perlu diwaspadai

Ketergantungan terhadap dana asing tersebut jelas merupakan sebuah risiko yang nyata bagi stabilitas sistem keuangan. Porsi kepemilikan yang besar dalam pasar saham dan pasar SBN memunculkan risiko yang tinggi akan terjadinya penarikan dana yang besar secara tiba-tiba (sudden reversal). Jika hal itu sampai terjadi, IHSG bisa anjlok dan yield SBN akan naik dalam tempo singkat, yang dapat menyebabkan kerugian yang besar bagi investor domestik, termasuk lembaga keuangan domestik yang berinvestasi di pasar saham dan pasar SBN. Penarikan dana besar-besaran itu juga akan menyebabkan rupiah melemah tajam jika Bank Indonesia tidak memiliki cadangan devisa yang cukup untuk mengintervensi pasar. Risiko tersebut sudah terlihat nyata selama periode politik yang dinamis menjelang dan setelah pemilu presiden, yaitu antara Juli hingga Oktober 2014, di mana pergerakan IHSG sangat fluktuatif dan rupiah melemah cukup dalam. Meskipun pelemahan rupiah tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa di saat yang sama dolar sendiri memang sedang menguat terhadap mata uang lain.

Hal lain yang perlu diwaspadai adalah belum adanya payung hukum yang jelas mengenai pencegahan dan penanganan krisis. Dalam keadaan krisis di mana keputusan harus dibuat dalam tempo yang singkat dan seringkali tanpa dasar informasi yang lengkap, tentu membutuhkan payung hukum yang jelas yang dapat memberikan perlindungan kepada para pengambil kebijakan jika di masa depan kebijakannya tersebut di persoalkan secara hukum. Jangan sampai terjadi, para pengambil kebijakan di negeri ini tidak berani mengambil tindakan dalam keadaan krisis hanya karena tidak adanya landasan hukum yang kuat yang dapat melindungi mereka dari sanksi hukum atas kebijakan yang diambilnya tersebut.

Pekerjaan Rumah untuk Regulator

Mengetahui bahwa ada risiko yang nyata yang dapat mengancam stabilitas sistem keuangan, beberapa hal perlu disiapkan oleh regulator. Prioritas pertama adalah mengendalikan utang swasta. Upaya tekun dari pemerintah untuk terus mengurangi proporsi utang luar negeri dalam pembiayaannya akan menjadi sia-sia jika proporsi utang luar negeri swasta justru semakin besar. Utang luar negeri swasta tersebut perlu terus diawasi dan dikontrol bila perlu. Apalagi dalam situasi politik yang cukup gaduh seperti sekarang ini yang dapat saja mendorong terjadinya sudden reversal oleh investor asing. Pemerintah dan BI sebetulnya sudah membuat kebijakan yang tepat seperti mendorong swasta untuk melakukan hedging atau lindung nilai dan membuat Standard Operating Procedure (SOP) tentang transaksi hedging yang memungkinkan BUMN untuk melakukan hedging tanpa takut risiko tuntutan hukum atas nama merugikan keuangan negara. Kebijakan lain yang mungkin dapat dilakukan untuk menurunkan risiko utang luar negeri swasta ini adalah dengan melakukan kebijakan pembatasan, mungkin berdasarkan besarnya aset atau indikator internal perusahaan yang lainnya.

Prioritas berikutnya yang menjadi pekerjaan rumah regulator adalah untuk terus mengusahakan adanya dasar hukum tindakan pencegahan dan penanganan krisis. Dasar hukum ini pernah dibuat dan diajukan oleh pemerintah kepada DPR pada 2009 melalui Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU JPSK). Sayangnya, tekanan politik dari legislator membuat RUU ini gagal untuk ditetapkan menjadi UU hingga saat ini. Dengan DPR yang baru dan pemerintahan yang baru, semoga akan terbuka diskusi yang lebih baik antara pemerintah dan DPR sehingga dapat dihasilkan sebuah landasan hukum yang kuat untuk pencegahan dan penanganan krisis, baik melalui RUU JPSK maupun RUU lain.

Dua hal lain yang sebetulnya tidak terlalu prioritas tetapi cukup penting untuk terus diusahakan adalah upaya untuk mendorong investor domestik berinvestasi di pasar saham dan pasar SBN serta mendorong investor asing untuk melakukan investasi langsung atau Foreign Direct Investment (FDI) di Indonesia.

Peningkatan investasi saham oleh investor domestik akan memperkuat struktur kepemilikan pasar saham di Indonesia. Menurut beberapa pengamat, idealnya kepemilikan asing tidak lebih besar dari domestik, untuk meredam dampak negatif apabila investor asing ramai-ramai melakukan penarikan dana dari pasar modal Indonesia. Ini merupakan tugas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk terus mensosialisasikan pasar saham kepada investor domestik dan juga tugas pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya sehingga tabungan masyarakat akan meningkat dan mampu berinvestasi di pasar saham.

Upaya mendorong FDI juga penting untuk dilakukan. Meskipun FDI di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir meningkat cukup pesat, yaitu rata 28% per tahun pada kurun 2009-2013, tetapi masih belum setara dengan potensi yang ada. FDI Indonesia pada tahun 2013 berdasarkan data Bank Dunia adalah US$ 18,4 miliar atau 2,1% PDB, masih lebih kecil dibandingkan negara ASEAN lain seperti Thailand (3,2% PDB) atau Vietnam (5,2% PDB). FDI ini perlu terus di dorong dan ditingkatkan. Dengan FDI yang besar, maka cadangan devisa Bank Indonesia juga akan meningkat. Dengan cadangan devisa yang besar, kemampuan Bank Indonesia dalam melakukan intervensi  untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah juga akan semakin besar.

Dengan melakukan langkah-langkah prioritas ditambah dua langkah lain yang juga cukup kontributif terhadap stabilitas sektor keuangan tadi, diharapkan akan mampu meminimalkan risiko dan menjamin terjaganya stabilitas sistem keuangan di tanah air.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun