Mohon tunggu...
Fajr Muchtar
Fajr Muchtar Mohon Tunggu... Guru - Tukang Kebon

menulis itu artinya menyerap pengetahuan dan mengabarkannya https://www.youtube.com/c/LapakRumi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Sebaiknya TV Mengusung Madzhab Ukhuwah

4 September 2015   06:56 Diperbarui: 4 September 2015   07:26 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Kalau saja tidak ditahan, Winsu hampir saja melempar sandalnya kepada Sebrut. Apa pasalnya? Winsu marah sebab Sebrut mendoakan bapaknya yang sudah meninggal agar dihimpit di alam kuburnya dan disiksa di neraka.

Winsu : Kampreet, mengapa kamu mendoakan bapakku disiksa di dalam kubur dan neraka. Memangnya tak ada doa yang lebih baik?

Sebrut : Lho… tadi kamu bilang kalau doa untuk yang sudah meninggal tidak akan sampai. Mengapa sekarang marah?

Ilustrasi ini saya dapat di sebuah artikel yang mengkritik penampilan Teuku Wisnu dan Zaskia Mecca dalam acara Berita Islam Masa Kini. Tentu saja ilustrasinya saya modifikasi sedikit. Saya tidak melihat tayangannya secara langsung jadi saya kutip saja dari sebuah artikel sebagai berikut :

“Ustadzah Artis fenomenal, sebutlah namanya ZM, berfatwa membacakan Quran Surat Al-Fatihah untuk orang-orang yang sudah meninggal adalah perbuatan bid’ah (sesat) karena tidak dilakukan oleh Rasulullah. Sementara itu, Ustadz Artis fenomenal yang lain, katakanlah inisial TW, di televisi dan waktu yang sama juga membenarkan dan menguatkan fatwa Ustadzah Artis ZM tersebut. Dikatakan oleh Ustadz Artis TW itu bahwasanya mengirim Al-Fatihah untuk orang yang telah meninggal itu tidak ada dalilnya dan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah.”

Pendek kata, menurut –kutipan- dari tayangan itu, mengirim Al Fatihah kepada yang sudah meninggal adalah bid’ah. Kejadian selanjutnya tentu saja serbuan kritikan -juga hujatan- kepada keduanya.

Bukan hanya kali ini saja tayangan seperti ini membuat keributan yang tak perlu jika menyajikan perbedaan itu dalam timbangan yang adil.

Menurut saya, harusnya televisi yang telah menggunakan saluran publik, menyajikan hal-hal ikhtilaf semacam mengirim al fatihah, ziarah kubur, tabarruk dalam kerangka perbandingan dan ukhuwah. Jika perbedaan itu disampaikan dengan menghakimi pendapat lainnya, maka yang terjadi hanyalah pertengkaran saja. Berbeda jika disampaikan dalam semangat perbandingan dan ukhuwah.

Berkaitan ini, saya ingin menceritakan seorang Kompasianer sepuh yang memiliki pesantren besar di Bandung. Mudah-mudahan bisa jadi contoh dalam menyampaikan masalah ikhtilaf dengan bijak.

Kiyai Muchtar Adam yang memimpin pesantren babussalam, menjadikan pesantrennya sebagai pesantren ukhuwah. Setiap mazhab dan golongan akan dibelanya. Di Pesantrennya, permasalahan fiqih akan selalu dipaparkan dan dibandingkan satu dengan yang lainnya.

Tak ada label bid’ah, sesat dan finnar dalam setiap pembahasannya. Jikapun kemudian harus menentukan posisi, Kiyai hanya mengatakan “Pendapat-pendapat dalam hal ini seperti ini, dan saya memilih pendapat ini…” terdengar lebih bersahabat, umat pun tercerahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun