Mohon tunggu...
Furkan Beko
Furkan Beko Mohon Tunggu... -

LAhir di Woja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Rumah (Tak) Ramah

9 April 2015   08:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:21 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14285578862045440871

[caption id="attachment_408877" align="aligncenter" width="589" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]

Dapat diamati jumlah perumahan di Kota Mataram semakin menjamur. Setiap lahan kosong nyaris dialihfungsikan sebagai hunian baru. Mataram semakin sesak. Dari sini kita tahu, Mataram memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang berdatangan dengan beragam tujuan, seperti bekerja, melanjutkan pendidikan, atau berinvestasi.

Sesaknya penduduk di lahan kota yang sempit seperti Mataram mengakibatkan lahan kosong jarang ditemui. Kelangkaan lahan kosong menyebabkan harga lahan produktif semakintinggi. Namun para investor antri ingin membangun perumahan di mana-mana. Dalam kotamaupun di desa-desa sekitar Mataram yang agak asri.

Penduduk urban, selain hidup dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lain, orang-orang pun ramai membeli perumahan tersebut. Orang tak lagi mengenal rumah sebagai afeksi, sentuhan perasaan yang positif, ruang yang pas untukku. Melainkan sebagai sebuah situs fisik semata. Rumah telah jadi komoditi. Ia bukan lagi bagian dari pengalaman yang tak bisa dipertukarkan. Tak lagi mendapatkan wujudnya sesuai dengan wujud diri penghuni yangtidak lahir dari proses seperti ketika semut tanah membuat ruang hidupnya dengan membuatlubang yang cocok.

Para nomad baru tak membangun rumahnya; ia masuk ke sebuah geografi yang sudah disiapkan untuk siapa saja. Di sana, ia hanya seorang tamu. Penghuninya yang sekaligus sebagai tamu di rumahnya sendiri. Ada hak milik, di sisi lain rumah juga menyadarkan penghuninya bahwa tempat tinggal hanya permasalahan rupiah yang bisa dibeli ketika ingin pindah bila seorang keluar dari kampung halaman. Zaman pun pada akhirnya keluar dari kita.

Atau mungkin saja zaman ini telah menarik kita ke luar, karena tempat apa pun pada akhirnya hanya sebuah ruang transit. Barangkali yang akan tetap akhirnya hanya nomor HP atau alamat e-mail. Heidegger, melakukan otokritik kepada abad ke-20, mengingatkan kita akan makna kata bauen. Baginya, makna kata itu bukan saja mengacu kepada membangun, tapi juga hidup di bawah langit, hidup di antara semua yang fana, tapi juga bagian dari apa yang tumbuh baik karena benih sendiri atau diolah jadi kebudayaan, tulis Goenawan Mohamad.

Salah satu otokritik yang terkenal itu menunjuk kepada ketakmampuan kita untuk merasakan tempat tinggal sebagai bagian dari hidup yang tiap kali membuat takjub. Kini kita kehilangan pesona dunia: harum kembang, suara burung, warna fajar. Ia telah jadi ”pengetahuan”. Rumah hanyalah kamar persegi panjang.

Kita tahu, rumah adalah respons kepada kebutuhan tubuh, yang berkembang jadi rencana dan imajinasi. Ingatan tentang rumah masa lalu hanya penting jika ia bagian dari respons itu. Di situlah rumah adat dan rumah darurat punya titik temunya. Bukan dalam bentuk, tapi dalam kreativitas: kemampuan menemukan cara yang pas, di suatu masa, di suatu tempat, di sebuah kondisi berkelebihan dan berkekurangan.

Namun rumah di kota-kota dengan penduduk pendatang dari darah-daerah lain kini tak lagi mempertimbangkan rumah dari sisi kenyamanan dan kreativitas. Makna rumah baginya tak penting. orang-orang memilih rumah karena terdesak oleh kondisi yang menuntut ia mempunyai sebuah tempat berlindung dari kemungkinan cuaca: hujan, panas matahari atau sebagai tempat istirah kala lelah dengan aktivitas di kantor, sekolah, dan tempat menjalankan aktivitas sehari-hari.

Lingkungan Hunian

Lingkungan yang membentuk diri dan kondisi hati tak dipertimbangkan lagi. Rumah jadi tereduksi. Namun hal ini menjadi tak penting ketika penghuninya hanya nyaman dengan istri, anak-anaknya di dalam ruangan. Hidup sebuah rumah hanya di dalam ruangan. Tak ada sebuah kehidupan yang tenteram pada lingkungan sekitar. Di mana penghuni merasa ada keluarga lain seperti tetangga tempat mengasah kepekaan sosial yang terbangun dari hasil persentuhannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kadang, di perumahan penghuninya sesekali membangun kehidupan sosialnya dengan beberapa orang terkdekat. Tapi lingkungan itu terbangun bukan dari hubungan genesasi, melainkan hubungan keterbiasaan dari penghuni yang heterogen dalam statusnya sebagai perantau atau lebih tepatnya pengunjung. Sebagai seorang manusia ia dituntut bersentuhan dengan kehidupan tanpa latar belakang. Lingkungan menjadi sebatas saling sapa, namun tak bisa membentuk penghuninya dalam lingkungan dengan konsep kekeluargaan.

Perumahan atau BTN didesain dengan beberapa ruangan untuk suatu rumah tinggal dengan memperhitungkan perilaku calon penghuninya. Sejak mulai masuk dari ruangan depan, ruang tengah, maupun ruang belakang. Bagaimana menyusun ruang-ruang itu sehingga sirkulasi menjadi lancar untuk dilewati dan ruangan menjadi nyaman dihuni saat melaksanakan aktivitas sehari-hari. Demikian pula perilaku penghuninya dari beberapa sisi ruangan dipertimbangkan.

Rumah menjadi sebuh benda yang menjadi barang mewah. Harga terus bergerak. Calon pemilik hanya boleh memilih, tak boleh merumuskan setiap bangunan yang tersaji di sana. Sebab itulah sebuah lingkungan yang terjalin hanya menempatkan manusia sebagai seorang yang dibentuk oleh saling tegur-sapa, tak terjalin sebuah keakraban di dalamnya.

Mungkin lingkungan yang tampak komunal, tapi di balik itu BTN menyimpan fitrah seorang manusia sebagai makhluk individu yang bergerak dan menjalankan kehidupan berasas kepentingan individu. Kehidupan tanpa konsep sosial. Anak-anak hanya dibentuk oleh aktivitas dalam kamar. Tetangga hanya ada saat dalam kondisi terdesak atau kebetulan saja. Orang lain menjadi tak begitu penting dalam sebuah rumah tangga.

Bagi sebagian kalangan, lingkungan sekitar tempat tinggal adalah bagian dari keluarga yang bisa menemaninya setiap saat. Lingkungan permukiman menentukan perkembangan keluarganya. Bahkan seseorang akan dibentuk oleh lingkungan. Jika lingkungannya buruk, perkembangan anak-anaknya pun demikian, atau sebaiknya. Sebab itulah seseorang akan selektif memilih tempat tinggal karena pertimbangan lingkungan yang membentuk laku anggota keluarganya.

Meski saat ini ada beberapa BTN menawarkan konsep lingkungan tempat tinggal yang asri atau lingkungan yang religius bagi calon penghuni. Di saat ini juga lingkungan jadi sebuah komuditas yang lagi-lagi dikonstruksi. Mungkinkah lingkungan bisa dirumuskan? Alhasil, lingkungan tak hanya mengonstruksi tapi akhir-akhir ini ternyata ia juga dikonstruksi oleh investor yang berkuasa menyusun rancangan mutakhir untuk dipasarkan. Ketika lahan-lahan kota menyusup, BTN pun menjamur di mana-mana.

Tapi pada tiap kesempatan, manusia mencoba membentuk kenyamanannya. Ada tempat-tempat yang kita bangun dan tempati dengan betah, juga di luar apa yang biasa disebut “rumah”. Ada ruang, yang tak boleh dan tak bisa diperjualbelikan: sebuah pojok di taman, sudut kota yang menyimpan kenangan, sebuah pasar yang menambat hati, sebuah kedaikumuh, stasiun bis, sebuah tempat pertemuan. Ketika kita ketahui tak semua tempat dapat dibeli dan diraih investor, makin jelas bagaimana setapak lahan itu telah berubah jadi rumah-rumah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun