Mohon tunggu...
Fuad Saputra
Fuad Saputra Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa cum Jurnalis

Mahasiswa Universitas Negeri Malang. Alumnus Pesantren Imam Syafi'i, Aceh Besar, Aceh. Asal Bireuen Aceh.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

BPK, Modal Kampanye, dan Korupsi

2 Desember 2018   17:26 Diperbarui: 2 Desember 2018   17:38 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: aceh.tribunnews.com

Indonesia selalu menghadapi masalah klasik. Tidak berdaya dihadapan korupsi. Setiap saat ujung-unjungnya setan jua yang disalahkan. Tidak pernah terbayang para koruptor massal dari Malang dengan tenang melambai tangan seolah tanpa dosa ketika diseret KPK. Bahkan kelakuan koruptor jauh lebih setan dari pada si setan sendiri.

Ketidak berdayaan Indonesia dihadapan koruptor dikarenakan sistem yang seolah menghijaukan prilaku setan ini. Dalam kasus kita melihat dengan jelas para pelaku korupsi berasal dari keluarga yang tajir melintir. Udah kaya maruk pula. Walaupun kekayaannya bisa saja dari hasil korupsi. Tapi setidaknya ada dua sebab yang menjadi bibit korupsi, dan kedua hal ini berkaitan erat dengan sistem yang berlaku di Indonesia. Kalau yang berkaitan dengan niat dan lain sebagainya tidak bisa kasat terlihat, hal itu kembali ke pribadi masing-masing.

Yang pertama adalah Badan Pemeriksa Keuangan dan tim Audit yang lebih banyak tidur dari pada kerja. Bayangkan saja kabupaten Bireuen --salah satu kabupaten di Aceh (tempat asli penulis) mendapatkan WTP atas laporan keungan berkali-kali, padahal pemerintahan kabupaten Bireuen berkali-kali diduga melakukan mark up pada kasus pengadaan fasilitas RSUD dr Fauziah, juga pengadaan mobil dinas fiktif.

Di Aceh khususnya tim audit BPK pada pertengahan mei 2018 juga menganugrahi Provinsi  Aceh WTP. Kemudian pada agustus gubernur Aceh juga bupati Bener Meriah digasak KPK. Malah menurut Tirto.id yang mendapatkan data dari Gerak juga MATA, kasus korupsi yang terjadi di Aceh menyebabkan kerugian negara mencapai angka 889 miliar sejak tahun 2012, dan ketika Irwandi-Nova naik tahta sudah ada kasus yang terindikasi korupsi dengan estimasi nilai proyek mencapai 493 miliar lebih. Itu data sebelum Irwandi ditahan tapi sesudah Aceh mendapat WTP.

Dari contoh kasus ini terlihat bahwa BPK seolah hanya lembaga pemberi penghargaan, bukan lembaga yang memang kredibel mengaudit laporan keuangan. Mengapa hal itu bisa terjadi? Ada beberapa faktor, pertama bisa saja (nauzubillah) BPK disuap oleh oknum, atau bahkan saling menutup koreng untuk menjaga citra pemerintahan. Sangat mustahi bila BPK berkilah tidak mendapat data lengkap, sebagai lembaga audit resmi negara seharusnya BPK lebih dahulu mengetahui indikasi korupsi dibanding KPK.

Saya sangat setuju bila KPK mempunyai kantor disetiap daerah. Karena salah satu kelemahan utama KPK adalah kantornya hanya ada di Jakarta. Nantinya laporan keuangan daerah akan diaudit BPK bersama KPK, sehingga indikasi lebih cepat tercium. Tapi tetap netralitas dan independensi harus tetap terjaga di KPK daerah, kalau tidak sama saja omong kosong.

Kedua adalah modal kampanye. Setiap pemilihan apakah itu legislatif juga eksekutif selalu membutuhkan modal yang tidak sedikit. Bagi yang legislatif mugkin modalnya tidak sebesar eksekutif, sehingga sering kali para calon mencari pemilik modal. Tidak usah jauh, hitung saja orang-orang lingkaran Jokowi dan Prabowo yang wira-wiri ditelevisi, banyakan aktivis (Ratna Sarumpaet tidak termasuk) apa pengusaha kaya raya?

Bukan bermaksud berburuk sangka, tapi tidak bisa dielak bahwa politik selalu berharap balas budi. Bayankan saja untuk apa mereka (pengusaha) menggelontorkan dana besar bila tidak mengharap balasan. Kasus yang terjadi di Aceh contohnya (lagi-lagi Aceh), terjadi friksi antara pemodal pasangan Irwandi-Nova, Edi Saputra dengan Plt gubernur Nova Iriansyah. 

Friksi ini terjadi setelah Irwandi tertangkap KPK dan Nova menjadi Plt Gubernur Aceh, sejatinya Edi Obama (bila) sesuai janji Irwandi-Nova ketika pilkada bakal dimuluskan jalan menuju Senayan pada pileg 2019. Tapi sejak Irwandi tertangkap Nova tidak kunjung memperlihatkan iktikad baik, bahkan memperburuk citra Edi. 

Akhirnya Edi kecewa, dalam unggahan status FB dia menuliskan kegusarannya serta mencantumkan modal pemengan Irwandi-Nova sebesar delapan miliar, itu murni dana kampanya belum lagi utang Nova juga menccapai angka miliar yang dibayar cicil. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, puncaknya Edi dipecat secara tidak hormat dari ketua DPC partainya bernaung (juga Nova Iriansyah), Partai Demokrat.

Cerita yang terjadi Aceh jelas menunjukan adanya politik balas budi. Belum lagi para calon yang berani berutang, dari mana bayaran hutang mereka? Apalagi gaji gubernur tidak sebanyak hutang mereka. Modal kampanye dalam berbagai kasus bisa menjadi alasan untuk melakukan korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun