Mohon tunggu...
Fuad Nur Zaman
Fuad Nur Zaman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembelajar dan Penggemar Sejarah

Imam al-Ghozali rahimahullah pernah mengatakan "kalau engkau bukan anak raja atau putra ulama besar, maka menulislah!"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengapa Belajar dari Sejarah itu Penting? Menyingkap Kekuatan 'History Repeats Itself' dalam Konteks Sejarah Islam

29 Januari 2024   13:00 Diperbarui: 5 Maret 2024   05:50 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diantara banyaknya mata pelajaran, yang kini sering dilupakan adalah sejarah. Kalau kita membaca masa keemasan Islam dahulu, setidaknya ada tiga mata pelajaran yang wajib dipelajari sedari kecil khususnya pada masa Umayyah, Abbasiyah dan seterusnya. Yang pertama adalah lughoh (bahasa), yang kedua adalah juhrofiyah (geografi) dan yang ketiga adalah tarikh (sejarah). Dari ketiga mata pelajaran ini bahasa masih dianggap penting dan menjadi sebuah tolak ukur kecerdasan seseorang. Sedangkan geografi dan sejarah kini mulai terlupakan dan tidak mendapatkan perhatian yang cukup.

Dewasa ini, seorang pelajar yang suka pada geografi biasanya tidak dianggap cerdas. Seorang pelajar yang suka geografi dianggap masih kalah cerdas dengan yang suka matematika, fisika dan beberapa ilmu lainnya. Tidaklah dianggap sebuah kecerdasan bila seseorang itu mengetahui dan paham tentang peta, tempat-tempat dan pengetahuan umum lainnya. Padahal kalau kita berbicara tentang kepemimpinan, salah satu aspek yang harus dikuasai seorang pemimpin adalah geografi. Sayyidina Umar Ibn Khattab RA pernah memecat Amr Ibn Yasir karena dilaporkan bahwa Amr tidak mengerti geografi dan tempat-tempat yang ada di Kuffah (Daerah yang dipimpin Amr Ibn Yasir).

Hari ini pelajaran sejarah juga masih belum dianggap penting oleh para pelajar. Padahal sebuah ungkapan mengatakan, “seseorang yang tidak mengerti sejarahnya, sama dengan orang yang kehilangan ayahnya.” Apalagi kalau kita bicara soal sejarah keemasan, mempelajari sejarah keemasan umat akan mengembalikan semangat kita untuk kembali ke masa keemasan itu. Sebaliknya, memutus mata rantai sejarah adalah cara untuk mematikan semangat umat untuk bangkit menegakkan peradaban. Kini umat Islam mulai dibuat lupa dan dihilangkan dari sejarahnya, dihilangkan dari keemasan Umayyah, dihilangkan dari keemasan Abbasiyah, dihilangkan dari keemasan Utsmaniyah dengan cara ilmiah yang terstruktur dan bahkan juga dengan cara yang kasar seperti, menghancurkan tempat-tempat bersejarah dan melenyapkan situs-situs bersejarah yang dilindungi. Coba kita berkaca pada Baghdad yang mana Abbasiyah berkuasa disana selama kurang lebih 500 tahun dan Baghdad adalah pusat pemerintahannya. Apa yang tersisa di Baghdad hari ini? Hampir tidak ada kecuali hanya bangunan-bangunan tua yang hampir tidak terawat dengan semestinya. Juga Damaskus, 90 tahun Umayyah berkuasa disana, dan apa yang hari ini tersisa dari kemegahan peradaban Umayyah? Hampir tidak ada kecuali hanya bangunan-bangunan tua.

Sejarah mengulangi dirinya sendiri. Itulah urgensi selanjutnya dari belajar sejarah. Agar kita bukan cuma belajar sejarah, tetapi juga belajar dari sejarah. Patut dibedakan antara belajar sejarah dengan belajar dari sejarah. Belajar sejarah adalah bentuk formal seorang pelajar untuk sekedar menambah pengetahuan dan wawasan. Sedangkan belajar dari sejarah merupakan sebuah proses memahami dan mengambil substansi dari sejarah sebagai ibroh (pelajaran) untuk menghadapi tantangan di masa mendatang. Dalam QS. Al Hasyr ayat 18, secara tersirat Allah SWT menyeru kepada orang-orang yang beriman dan bertaqwa agar “wal tandhur nafsun maa qaddamat lighod”. Dalam ayat tersebut, Allah menyeru kepada kita untuk memperhatikan dan memikirkan tentang apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi. Itulah fungsi belajar sejarah, agar semangat juang dapat terus diwariskan kepada generasi penerus umat dan supaya kita senantiasa memperhatikan masa yang telah berlalu untuk persiapan menghadapi kehidupan yang akan datang.

Ibnu Khaldun pernah menulis dalam kitabnya al Muqaddimah “Masa lalu itu menyerupai masa kini melebihi sebuah air yang menyerupai air lainnya.” Dulu Nabi Ibrahim AS menghadapi Namrud, lalu di masa yang lain ada Nabi Musa AS yang melawan Fir’aun. Di zaman Nabi Musa AS ada Fir’aun, di zaman Nabi Muhammad SAW ada Fir’aun juga, yakni Abu Jahal. Bahkan kalau kita telaah lebih dalam, Abu Jahal justru lebih Fir’aun dari Fir’aun itu sendiri. Kenapa bisa begitu? Fir’aun di zaman Nabi Musa itu jahat, mengaku sebagai tuhan, lebih dari itu dia juga menistakan Bani Israil. Tetapi Abu Jahal itu luar biasa kejahatan dan kesombongannya, hal itu dibuktikan ketika Nabi Muhammad SAW mengutip firman Allah “Bahwa nanti di akhirat ada syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,” Abu Jahal justru mengejeknya dengan perkataan “Muhammad hanya berbicara kebohongan, syurga yang ditawarkan Muhammad itu adanya di akhirat, aku bahkan bisa membuatnya sekarang." Abu Jahal pun juga menghina Nabi ketika memperingatkan tentang pedihnya siksa neraka, Abu Jahal berkata “Kalau kata Muhammad nanti akan ada siksa neraka, maka aku bisa melakukannya sekarang (sambil menyiksa budaknya dengan ditindih batu yang besar serta dicambuk).” Betapa jahat dan sombongnya Abu Jahal, bahkan ketika mulutnya sedang berdosa dengan menghina Allah dan RasulNya, anggota badan yang lain pun tak luput dari dosa dengan menyiksa budak-budaknya seraya mengatakan “Jahannamu hahuna.” 

Seburuk-buruknya Fir’aun pada zaman Nabi Musa AS, dia masih memiliki keinginan untuk bertaubat di akhir hidupnya meskipun semua itu sudah dianggap telat dan tidak berguna. Hal itu sebagaimana yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas. Dalam riwayat tersebut, Nabi Muhammad SAW menuturkan: “Sewaktu Allah SWT menenggelamkan Fir‘aun, ia mengucapkan, (Amantu annahu laa ilaaha illa alladzi amanat bihi banu isro’il).” Kemudian, malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah SAW., “Wahai Muhammad, seandainya engkau melihatku, kala itu aku mengambil tanah hitam dari dasar lautan. Lalu memasukkannya ke dalam mulut Fir‘aun karena takut ia diliputi oleh rahmat.” Hadits di atas diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam “Kitab al-Tafsir, Bab Min Surah Yunus” jilid 4, hal. 287.

Berbeda dengan Fir’aun pada zaman Nabi Musa AS, Fir’aun pada zaman Nabi Muhammad SAW yakni Abu Jahal tetap menampakkan kesombongannya di saat-saat nyawanya terancam.  Kesombongan tersebut nampak pada saat perang Badar berkecamuk, dua pemuda pemberani dari Madinah bernama Mu’adz dan Muawwidz bertanya kepada sahabat Abdurrahman bin Auf “Wahai paman, diantara sekian banyak musuh yang ada disini, manakah yang bernama Abu Jahal?” Pertanyaan tersebut mengindikasikan bahwa kejahatan Abu Jahal sudah diketahui khalayak ramai, bahkan seorang pemuda dari Madinah pun tau kejahatan Abu Jahal dan menanyakannya kepada sahabat Abdurrahman bin Auf. Abdurrahman bin Auf pun menjawab “Orang yang sedang menaiki kuda dengan perlindungan lengkap dan memakai baju besi itulah yang bernama Abu Jahal.” Tanpa berpikir panjang dua pemuda itu langsung menyerang Abu Jahal hingga tersungkur. Tak lama kemudian, datanglah Abdullah bin Mas’ud menghampiri Abu Jahal yang sudah tidak berdaya, Abdullah bin Mas’ud pun meletakkan kakinya diatas dada Abu Jahal, lantas Abu Jahal dengan kesombongannya bertanya pada Abdullah bin Mas’ud, “Yaa ruwai’il ghonam (wahai penggembala kecil), limanida’arotul yaum? (siapa yang menang dalam perang ini?),” Abdullah bin Mas’ud pun menjawab, “Allah dan RasulNya.” Mendengar jawaban itu, Abu Jahal bukannya berpikir untuk bertaubat, tetapi dia justru mengeluarkan kesombongannya dengan meminta Abdullah bin Mas’ud untuk memenggal kepalanya dan menyerahkah kepalanya kepada Muhammad.

Pada peristiwa Fathu Mekkah, sejarah kembali terulang. Rasulullah SAW berhasil membebaskan Mekkah dan dua ribu orang bersimpuh di hadapan beliau, lalu Rasulullah SAW berkata kepada mereka, “Yaa ma’sarol quraisy, ma tadhunnuna inni fa’ilun bikum? (wahai sekalian kaum Quraisy, apa yang seharusnya aku lakukan untuk kalian?)” Lalu serentak kaum Quraisy berkata, “Yaa Muhammad, anta akhun karim, wa ibnu akhin karim, (wahai Muhammad, kamu adalah saudara kami yang mulia, kamu adalah anak dari saudara kami yang mulia,)” mendengar jawaban itu, Rasulullah pun berkata “Saya akan melakukan apa yang telah dilakukan Yusuf AS”.

Sejarah kembali mengulangi dirinya sendiri, Yusuf AS pernah memaafkan saudara-saudaranya yang telah menyiksanya, membuangnya kedalam sumur dan mengatakan kebohongan tentang dirinya di depan ayahanda Ya’qub AS. Saudara-saudara Yusuf bersujud dihadapan Yusuf AS sembari mengadu nasibnya dan Yusuf AS pun memaafkan mereka. Kisah Yusuf AS pun terulang lagi dalam peristiwa Fathu Mekkah hingga Allah mengabadikan momen tersebut dalam firmannya QS. Yusuf ayat 92, “Laa tatsriba alaikumul yauma, yaghfirullahu lakum, wa huwa arhamu rrahimin (Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampunimu, dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang)."

Kisah-kisah yang telah disampaikan sebelumnya, bukan hanya menceritakan tentang kedurhakaan Fir’aun dan Abu Jahal saja, atau sifat pemaafnya Yusuf AS dan Rasulullah SAW saja, tetapi lebih dari itu kisah-kisah ini membuktikan bahwa sejarah selalu mengulangi dirinya sendiri (History repeats itself). Dalam ilmunya, ia dinamakan ‘historic recurrence’ (pengulangan sejarah) dan bahkan dalam fashion saja hal ini ada pula istilahnya, namanya ‘Gaya Retro’ yaitu sebuah usaha untuk mengikuti gaya hidup atau tren dari masa lalu. Selain itu, dari berbagai rangkaian sejarah yang ada, pasti mengandung ibrah (pelajaran) yang patut untuk kita gali dan jadikan pedoman untuk menjalani kehidupan yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun