Sebagai mahasiswa baru Universitas Airlangga dalam kegiatan PKKMB AMERTA 2025, pada hari ketiga saya mengikuti kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Garuda 8 Ksatria. Tema yang diangkat dalam FGD ini adalah mosi: "Pendanaan pendidikan lebih memfokuskan bantuan bagi masyarakat kurang mampu, daripada masyarakat berprestasi. Dalam diskusi tersebut, tim kami termasuk saya memposisikan diri sebagai penerima bantuan pendidikan dari kalangan masyarakat kurang mampu. Melalui peran ini, saya tidak hanya menyuarakan harapan masyarakat kalangan menengah kebawah, tetapi juga merenungkan betapa pentingnya keadilan dalam sistem pendanaan pendidikan di Indonesia.Â
FGD berlangsung dengan semangat. Masing-masing tim menyampaikan argumennya dengan baik, namun pada akhirnya, kesepakatan bersama yang muncul adalah bahwa semua orang berhak mendapatkan pendidikan, tetapi mereka yang paling membutuhkan harus diprioritaskan agar tidak tertinggal. Sebagai seseorang dari kalangan menengah ke bawah, saya sangat mengapresiasi kesimpulan ini karena mencerminkan semangat kesetaraan dan mencerminkan nilai pancasila keadilan sosial.Â
Dalam konteks mosi yang diberikan, menurut saya pemerataan akses pendidikan adalah hal yang mutlak guna menciptakan masyarakat yang mampu untuk bersaing dalam perlombaan hidup. Sayangnya, masih banyak anak dari keluarga dengan kehidupan social ekonomi rendah yang rentan putus sekolah atau tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi karena keterbatasan biaya. Oleh karena itu, pendanaan pendidikan yang lebih memfokuskan kepada masyarakat kurang mampu adalah langkah strategis untuk memutus rantai kemiskinan antar-generasi. Karena pendidikan merupakan pondasi awal seseorang untuk dapat meningkatkan kualitas hidupnya.Â
Namun demikian, terkadang sistem pendanaan tidak bisa serta merta mengabaikan mereka yang berprestasi. Maka, diperlukan solusi yang bersifat integratif. Seperti halnya yang pertama, yaitu perlu ada dua jalur utama dalam pendanaan pendidikan: (1) bantuan afirmatif bagi masyarakat kurang mampu; dan (2) beasiswa meritokrasi untuk siswa berprestasi sebagai apresiasi atas pencapaian yang diperolehnya. Dengan demikian, negara tetap mendorong prestasi, tetapi tidak melupakan keadilan sosial.Â
Kemudian, dalam jalur afirmatif, seleksi tidak hanya didasarkan pada bukti administratif kemiskinan (misalnya KIP atau DTKS), tetapi juga mempertimbangkan potensi dan semangat belajar individu. Banyak pelajar dari keluarga miskin yang memiliki motivasi tinggi, namun tidak tercatat secara administratif. Pendataan yang lebih menyeluruh dan verifikasi lapangan bisa memperkuat ketepatan sasaran bantuan yang memang layak.Â
Selain itu perlu ada pendampingan khusus, terutama bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu. Terkadang mereka sering kesulitan menyesuaikan diri dalam hal belajar maupun bergaul dengan lingkungan sekitar. Jadi, selain bantuan berupa uang, mereka juga butuh bimbingan seperti pelatihan keterampilan, dan layanan konseling agar bisa lebih siap menghadapi tantangan di dunia luar.Â
Pada akhirnya, saya meyakini bahwa mosi yang sedang dibahas sangat tepat dan masuk akal melalui sudut pandang masyarakat rentan. Pendidikan memang hak semua orang, tapi ketika sumber daya terbatas, bantuan sebaiknya diprioritaskan bagi mereka yang paling rentan tertinggal, yaitu masyarakat kurang mampu. Bukan karena mereka tidak punya potensi, tapi karena sering kali mereka tidak mendapat kesempatan bahkan sama sekali. Jika bantuan pendidikan diberikan secara adil dan tepat sasaran, maka bukan hanya prestasi yang meningkat, tapi juga keadilan sosial yang akan semakin kuat untuk mendukung cita-cita Indonesia yang berkelanjutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI