BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Perkembangan konsep-konsep senantiasa mengalami perbedaan pada zaman-zaman tertentu dengan para pemikir yang berbeda-beda. Perbedaan pemikiran-pemikiran, sebenarnya demi mewujudkan pencarian para pemikir terhadap banyaknya realitas dalam menentukan adanya suatu konsep yang dapat dijadikan sebagai titik tolak untuk pemikiran yang selanjutnya.
Sejak dari zaman Yunani kuno hingga era postmodern ini, terdapat sejumlah filsuf dengan pemikiran-pemikiran yang khas dan saling mempengaruhi. Secara khusus tentang kekuasaan yang dibahas dalam tulisan ini, oleh perspektif Michel Foucault, berkembang pada era postmodern, memiliki kekhasan tersendiri jika dibandingkan dalam sejarah perjalanan ide-ide filsafat tentang kekuasaan. Pemikiran Foucault tentang kekuasaan menjungkirbalikan konsep kekuasaan yang terlampau dipahami sebagai milik subyek tertentu atau oleh kelas tertentu dengan khusus dilegitimasi oleh Negara. Kekuasaan pun karena dimiliki oleh kaum tertentu sehingga yang lainnya didominasi bahkan dengan memproklamirkan jalan kekerasan, penindasan represif sebagai perwujudan kekuasaan. Sebagaimana maksud Hobbes tentang harus menjadi serigala bagi yang lain, Machiavelli tentang kekerasan sebagai jalur kekuasaan untuk menaklukkan, serta maksud Marx tentang kekuasaan mendominasi dari kelas kaum borjuis terhadap kaum buruh, Foucault menolak konsep dan praktek kekuasaan seperti ini.
Kekuasaan bukanlah milik subyek tertentu melainkan ada dalam diri setiap orang sebagai strategi, sehingga akhirnya kekuasaan itu ada di mana-mana. Dikatakan bahwa kekuasaan ada di mana-mana seturut konsep kekuasaan sebagai strategi canggih yang dapat ditempuh oleh setiap orang dari dalam dirinya sendiri sejak ia memiliki kehendak untuk mengetahui. Kekuasaan bekerja seturut kuatnya perbedaan-perbedaan yang ada. Kekuasaan menjadi ada karena banyaknya perbedaan. Dalam banyak perbedaan dapat dibangun relasi atau jaringan sehingga melalui jaringan itu kekuasaan muncul. Dan karena perbedaan-perbedaan ini, maka kekuasaan dapat beroperasi melalui Normalisasi (Menjaga) dan Regulasi (Melarang-Menghukum). Menjaga dan Menghukum, tidak ditempuh sebagai cara-cara untuk menindas apalagi halal kekerasan, tetapi sebagai tindakan pendisiplinan untuk mencegah pihak-pihak lain ketika ada praktek dominasi terhadap pihak lain pula.
1.2Rumusan Masalah
·Bagaimana menjelaskan pemikiran filosofis Foucault tentang kekuasaan?
·Bagaimana menjelaskan tentang kekuasaan sebagai strategi yang beroperasi dalam kehidupan masyarakat?
BAB II
KEKUASAAN MENURUT MICHEL FOUCAULT
2.1 Pemikiran Filosofis tentang Kekuasaan
Kekuasaan adalah model strategis canggih dalam masyarakat tertentu, yang dibentuk dari kekuasaan-kekuasaan mikro yang terpisah-pisah. Kekuasaan berkaitan dengan strategi dan bukanlah menjadi milik orang-orang tertentu melalui kesepakatan tertentu. Kekuasaan adalah daya yang ada dalam diri setiap orang. Kekuasaan juga tidak bersifat berasal dari adanya kekuasaan terpusat yakni negara. Kekuasaan tidak dipahami sebagai pemberian dari negara. Sehingga pemahaman tentang kuasa hanya dapat dikenakan pada presiden atau seorang raja dalam negara. Kekuasaan itu ada pada tiap orang karena itu kekuasaan itu lebih berkaitan dengan bagaimana strategi untuk berkuasa.
Pelaksanaan kekuasaan tidak pertama-tama melalui kekerasan atau masalah persetujuan seperti yang dimaksudkan oleh Hobbes dan Locke. Kekuasaan pertama-tama bukan bercorak represif (Freud) atau pertarungan kekuatan (Machiavelli, Marx) dan bukan juga fungsi dominasi suatu kelas yang didasarkan pada penguasaan atas ekonomi, atau manipulasi ideologi (Marx). Foucault mengatakan dengan kekuasaan “harus dipahami pertama-tama banyak dan beragamnya hubungan-hubungan kekuatan yang melekat pada bidang hubungan-hubungan tersebut dan organisasinya. Permainannya akan mengubah, memperkuat, membalikkan hubungan-hubungan itu melalui perjuangan dan pertarungan terus-menerus”. Kekuasaan berarti menempatkan konflik dalam berbagai institusi sosial, dalam ketidaksetaraan ekonomi, dalam bahasa, dan bahkan dalam tubuh kita masing-masing. Foucault mencoba mendefinisikan kembali kekuasaan dengan menunjukkan ciri-cirinya: kekuasaan tidak dapat dilokalisir, merupakan tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan, memberi struktur kegiatan-kegiatan, tidak represif tetapi produktif, serta melekat pada kehendak untuk mengetahui.
2.2. Kuasa Bukanlah Milik melainkan Strategi
Kekuasaan bukanlah milik melainkan strategi. Kekuasaan berkaitan dengan strategi praktek dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami penggeseran. Kekuasaan tidaklah dipahami dan dipraktekkan sebagai milik sehingga dengan itu maka kekuasaan menjadi sarana untuk saling mendominasi secara global dari kelas tertentu ke kelas yang lain.
2.3 Kuasa Terdapat di mana-mana
Kuasa tidak dimaksudkan secara subyektif dengan melekat pada orang-orang tertentu saja. Kekuasaan bekerja melalui strategi-strategi yang berlangsung di mana-mana. Kekuasan semakin terealisir melalui adanya perbedaan-perbedaan. Adanya banyak sistem regulasi, adanya relasi sosial manusia entah dengan sesama maupun dengan lembaga, dengan itu semakin menampakkan kekuasaan.
Kekuasaan bekerja seturut perbedaan sehingga indikasinya adalah banyak kuasa seturut perbedaan-perbedaan. Karena banyak perbedaan-perbedaan maka membutuhkan strategi kuasa yang dapat diterapkan dalam hidup bersama.
Foucault menjelaskan beberapa cirri khas dari kekuasaan yang dalam karya mini hanya dapat disebutkan saja, yakni : Kekuasaan itu ada di mana-mana dan tidak dapat dilokalisir; merupakan tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan; memberi struktur kegiatan-kegiatan; tidak represif tetapi produktif; serta melekat pada kehendak untuk mengetahui.
2.4 Kuasa Bekerja melalui Normalisasi dan Regulasi
Strategi kuasa tidak bekerja melalui jalan penindasan melainkan melalui Normalisasi dan Regulasi atau Menjaga dan Menghukum sebagai sebuah tindakan Pendisiplinan. Sebagaimana dalam kehidupan bermasyarakat Menjaga dan Menghukum selalu ditempuh sebagai tindakan pendisiplinan.
Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi (tekanan psikologis). Kuasa tidak boleh terwujud melalui jalan kekerasan, jalan teror dan propaganda dengan ideologi-ideologi ekstrim tertentu. Dalam kaitan operasi kuasa ini, Haryatmoko dalam makalahnya menguraikan lima cara bagaimana kekuasaan beroperasi. Kelima cara ini akan diuraikan dengan singkat dalam tulisan ini. Pertama, kekuasaan tidak diperoleh, diambil atau dibagikan, kekuasaan berjalan dari berbagai titik, dalam permainan hubungan yang tidak setara dan selalu bergerak. Kedua, kekuasaan itu cair karena di mana ada perbedaan terbuka hubungan kekuasaan. Hubungan kekuasaan adalah imanen, artinya hubungan kekuasaan adalah efek langsung dari pembagian, perbedaan, ketidaksetaraan dan ketidakseimbangan. Ketiga, hubungan kekuasaan tidak berada dalam posisi suprastruktur. Kekuasaan datang dari bawah, artinya tidak ada oposisi biner antara yang didominasi dan yang dominan. Hubungan-hubungan kekuatan itu banyak dan terbentuk serta bermain di dalam aparat produksi seperti di keluarga, kelompok, institusi, keseluruhan tubuh sosial. Ke empat, hubungan kekuasaan itu intensional. Tidak ada kekuasaan tanpa serangkaian sasaran. Orang bisa memahami hubungan kekuasaan dalam kerangka tujuan dan sasaran. Tujuan dan sasaran ini tidak dimiliki oleh individu atau suatu kelas, tetapi dalam bentuk anonim, hasil dari situasi-situasi lokal. Strategi adalah anonim bukan kenyataan subyek. Foucault menempatkan wacana tentang seks bukan dalam kerangka kekuasaan tunggal dan sentral yang menindas atau sistem hukum kedaulatan, tetapi dalam hubungan-hubungan kekuasaan yang sekaligus banyak dan selalu bergerak. Kelima, di mana ada afirmasi kekuasaan, di situ ada resistensi. Ketika ada afirmasi kekuasaan selalu ada perlawanan, bukan dalam arti kekuatan dari luar atau yang berlawanan, tetapi karena adanya kekuasaan itu sendiri.
2.5 Kuasa bersifat Produktif
Kuasa tidak menghancurkan tetapi menghasilkan sesuatu. Kuasa memproduksi realitas bukan menghancurkan realitas. Kuasa menegaskan relasi kemanusiaan bukan menempatkan manusia sebagai obyek kuasa secara kejam. Kekuasaan menghasilkan pengetahuan, sebab salah satu strategi kekuasaan adalah melekat erat dengan kehendak untuk mengetahui. Kuasa akan dengan sendirinya ada pada diri seseorang ketika apa yang diketahuinya diwacanakan melalui bahasa dalam relasi sosial dengan memenuhi tuntutan-tuntutan ilmiah sehingga apa yang diungkapkan itu merupakan pernyataan-pernyataan ilmiah yang logis dan masuk akal.
Kuasa karena semakin eksis dalam perbedaan, maka supaya perbedaan-perbedaan yang ada itu makin berarti penggunaan kekuasaan haruslah bersifat produktif. Produktifitas kekuasaan juga semestinya dialami tanpa tekanan tertentu. Dalam kaitan dengan Normalisasi dan Regulasi, strategi kuasa sering menjaga dan menghukum serta melarang, tetapi itu tidak dengan maksud menekan pihak tertentu. Justeru dengan strategi ini produktifitas makin nampak karena setiap perbedaan diterima dan dihargai sebagai yang saling sama dalam memiliki kekuasaan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Foucault dengan pemikirannya membeberkan pengetahuan baru yang mungkin saja baru disadari. Kekuasaan karena dipahami sebagai strategi, maka tidak dapat disangkal pula bahwa manusia yang hidup pada era modern ini membutuhkan strategi yang cocok demi kelayakan hidup sosial. Manusia karena tidak bisa hidup sendirian, maka ia menempatkan dirinya dalam ruang lingkup sosial. Dan dalam ruang lingkup sosial atau jejaring sosial itu ia hidup bersama dalam suatu tata organisasi yang tidak saling mendominasi. Manusia membutuhkan strategi seturut itu pula kekuasaan dapat bekerja sebagai strategi yang ada dalam diri manusia sendiri. Strategi yang ada itu tidak hanya tinggal diam dan ikut arus melainkan memiliki cara beroperasi. Kekuasaan dapat beroperasi melalui Normalisasi dan Regulasi. Atau seperti yang dijelaskan oleh Haryatmoko dengan lima cara bagaimana kekuasaan beroperasi.
Kekuasaan beroperasi seturut perbedaan-perbedaan dan strategi-strategi pun berbeda. Perbedaan yang ada ini tidak untuk saling mengejek tetapi lebih merupakan medan yang subur bagi beroperasinya kekuasaan. Salah satu medan yang ditunjukkan oleh Foucault sebagai medan kerja kekuasaan dalam kaitannya dengan strategi Normalisasi adalah tubuh manusia. Dalam tubuh manusia terkandung kuasa yang melegitimasi dirinya sendiri untuk menjadi penguasa dan memiliki kekuasaan tidak untuk saling mendominasi. Kekuasaan bukanlah milik melainkan strategi. Kekuasaan itu ada di mana-mana dan tidak dapat dilokalisir untuk menjadi milik kelas tertentu hanya karena dilegitimasi oleh kelas yang lebih tinggi atau pun oleh negara. Kekuasaan pun tidak boleh mengambil jalur kekerasan dan penindasan, sebab setiap orang memiliki kuasa sehingga yang dibutuhkan itu bukanlah kekerasan dan penindasan melainkan strategi yang dibutuhkan.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku :
Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Prancis,
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Foucault, Michel, Seks dan Kekuasaan, Sejarah Seksualitas,
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.
_______, Pengetahuan dan Metode, Karya-Karya Penting Foucault,
Yogyakarta : Jalasutra, 2011.
Kali, Ampi, Diskursus Seksualitas Michel Foucault,
Maumere : Ledalero, 2013.
Lechte, John, 50 Filsuf Kontemporer dari Strukturalisme sampai Postmodernisme,
Yogyakarta : Kanisius, 2001.
Ritzer, George, Teori Sosial Postmodern,
Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2003.
Suyeno, Seno Joko, Tubuh Yang Rasis,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.
Yusuf Lubis, Akhyar, Postmodernisme Teori dan Metode,
Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2014.
Kamus :
Dendy Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Makalah:
Haryatmoko, Kekuasaan-Pengetahuan Sebagai Rezim Wacana Sejarah Seksualitas:
Sejarah Pewacanaan Seks & Kekuasaan Menurut Foucault(Makalah),
Jakarta : Komunitas Salihara, Juni 2010.
Ampi Kali, Diskursus Seksualitas, (Maumere : Ledalero, 2013), hlm. 156.
Haryatmoko, Kekuasaan-Pengetahuan Sebagai Rezim Wacana Sejarah Seksualitas: Sejarah Pewacanaan
Seks & Kekuasaan Menurut Foucault(Makalah), (Jakarta : Komunitas Salihara, Juni 2010), hlm.8-10.
Bdk. Ampi Kali, Op.cit., hlm. 87.
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 320.
Ampi kali, Op.Cit., hlm. 88.
“Normalisasi berarti menyesuaikan dengan norma-norma, mengadakan norma-norma. Regulasi berarti menyesuaikan dengan aturan-aturan, mengadakan aturan-aturan.” Kedua proses ini tidak boleh ditafsir secara subyektif sebagai produk dari subyek atau instansi tertentu tetapi harus dimengerti anonim.
K. Bertens, Op.Cit., hlm. 322.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefenisikan Resistensi sebagai ketahanan.