Mohon tunggu...
Dicky Sugianto
Dicky Sugianto Mohon Tunggu... -

menutur, menyidik, dan memerhati; serta menyurat | seseorang yang tertarik dengan isu psikologi (terutama seksual minoritas dan geder) serta Theologia.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kematian dan Kerapuhan Hidup

10 Maret 2014   22:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:05 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu, saya mendapatkan kabar dari anggota keluarga saya bahwa seseorang yang cukup dekat dengan keluarga kami meninggal saat persalinan. Berita ini membuat saya sangat terkejut karena sudah beberapa minggu yang lalu beliau meninggal dan saya baru mendapatkan kabar. Saya juga teringat, belum genap setahun lamanya, seorang dosen saya yang saya hormati juga dipanggil ke pangkuan Yang Kuasa. Kematian dan perpisahan selalu mendukakan hati saya.

Berita kematian, sejauh yang saya alami, bukanlah berita yang menggembirakan (tentu saja). Bahkan untuk kematian penjahat kelas kakap sekalipun, entah mengapa saya percaya bahwa setidaknya ada satu orang yang berduka. Berita kematian dengan atributnya yang kelam menjadi sesuatu yang enggan dibicarakan, orang-orang cenderung ingin berita itu segera berhenti (atau malah dibicarakan di tengah bayang-bayang).

Banyaknya kabar yang membisiki saya mengenai Bapak ini meninggal, Ibu itu beristirahat untuk selamanya, Saudara ini dipanggil Yang Kuasa, membuat saya menyadari bahwa hidup itu rapuh. Suatu hari kita hidup dan di waktu berikutnya yang entah kapan datangnya kita sudah bergeming tak bernyawa. Kemarin Ibu X tampak sehat dan esoknya tiba-tiba sudah wafat. Bapak Z kemarin masih bercanda dengan anak-anaknya dan mendadak beliau meninggal dalam kecelakaan. Sungguh mendukakan hati.

Banyak orang amat enggan membicarakan kematian. Jika ada orang yang membicarakan kematian, pastilah saudara kembarnya akhirat dan sepupunya agama dan kehidupan setelah kematian ikut diperbincangkan. Manusia seolah sangat takut dengan kematian, entah sebenarnya apa yang mereka cemaskan. Manusia menjadi pribadi-pribadi yang begitu memuja kehidupan dan berharap akan kehidupan yang begitu panjang, bahkan kekal.

Setiap malamnya kita mengatur waktu kita hendak bangun esok pagi, berharap kehidupan masih akan mampir dalam kehidupan kita tiap-tiap paginya. Dalam derajat yang lebih ekstrem, orang-orang di waktu yang lampau, yang percaya bahwa mereka dapat mengubah besi menjadi emas, berupaya menemukan ramuan untuk hidup selama-lamanya di dunia. Kita senantiasa berharap bahwa esok akan menjadi hari yang lebih baik dari hari ini, seolah kita yakin bahwa kita masih akan hidup esok. Kematian bukanlah sesuatu yang diinginkan.

Tidak, tidak, saya bukannya sedang menyindir Anda yang memiliki pengharapan akan hari esok dan menikmati kehidupan yang Anda jalani sekarang, tidak. Saya malah justru akan mendorong Anda untuk selalu berpengharapan akan kehidupan yang lebih baik dan bersukacita dalam kehidupan Anda. Saya sungguh-sungguh berharap orang-orang yang ingin segera meninggalkan kehidupan ini (dan melakukannya dengan berbagai cara, atau setidaknya memikirkannya) dapat hidup lebih sejahtera secara psikis.

Kehidupan adalah sebuah anugerah. Sesuatu yang semestinya disyukuri dan dinikmati. Suatu hal yang dihidupi sehidup-hidupnya. Seberapapun tantangan dan rintangan dalam hidup, kehidupan itu sendiri adalah indah. Saya sungguh merasa berduka atas setiap kematian dan kehilangan, seperti juga saya berduka atas kehidupan yang tidak dihidupi sepenuh-penuhnya.

Sayangnya, seperti mimpi yang indah, hidup juga memiliki akhir. Hidup itu bertahan sebentar saja, ibaratnya seperti rumput yang pada hari ini tumbuh dan esok menjadi kering. Sebentar, tak tahu kapan tumbuh dan tak tahu kapan akan hilang. Seperti yang dikatakan oleh masyarakat Jawa, hidup itu seperti mampir untuk minum, tidak lama.

Kematian, sisi lain kehidupan, bukanlah sesuatu yang menakutkan. Bagi saya pribadi, kematian itu merupakan sesuatu yang indah, sesuatu yang membebaskan. Ketika kita hidup, kita terikat pada aturan-aturan, norma-norma, dan hukum-hukum moralitas. Tentunya, hal-hal tersebut adalah baik adanya. Namun, kebebasan menjadi sesuatu yang ambigu, sesuatu yang tampaknya adalah sebuah ide semata. Mungkinkah kita akan mengalami kebebasan selama kita hidup?

Seperti yang diungkapkan oleh J. R. R. Tolkien, kematian juga adalah anugerah bagi manusia. Saya sendiri tidak dapat membayangkan, seperti apa rasanya hidup di dunia ini untuk selamanya. Saya bukannya tidak cemas akan kematian, tetapi saya juga menantikan saat-saat dimana saya dibebaskan dari kemanusiaan saya yang fana dan penuh keterbatasan, dibebaskan dari penderitaan selama menjalani hidup, dan benar-benar merdeka dari segala kepahitan.

Sekali lagi, saya mendorong setiap orang (setidaknya Anda yang membaca tulisan saya ini) untuk menghidupi hidup sepenuh-penuhnya, mensyukuri setiap hal yang boleh kita alami selama hidup, dan bahkan mensyukuri kehidupan itu sendiri. Ketika kita mengetahui bahwa hidup itu suatu saat akan berakhir, seyogianya kita semakin terdorong untuk hidup semakin bijak. Hidup memang hanya sekali, maka alangkah baiknya jika kita menghabiskannya dengan menjalani dan memaknai kehidupan ini sebaik-baiknya dan sebijak-bijaknya.


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun