"Manusia menciptakan teknologi super canggih, tapi pada saat yang bersamaan pula, ia takut dengan hasil kreasinya" - Fredy Suni.
Aneh tapi nyata, setiap kali saya iseng membuka mbak google, di mana media-media arus utama (mainstream) sampai pada media sosial Blog, Youtube, TikTok, SnakVideo, Facebook, Instagram, dan sejenisnya seolah-olah ikut membenarkan kehadiran ChatGPT yang digadang-gadang akan menggantikan beberapa profesi di waktu yang akan datang.
Memang, waspada dan rencana kita perlu siapkan, guna mengantisipasi kecemasan demikian. Tapi, janganlah berlebihan terus-terus menakuti keadaan psikis pembaca budiman.
Karena perubahan apa pun, Artificial Intelligence (AI) sejenis ChatGPT dan segala peranakannya, tak mampu menggantikan peran manusia. Terlebih perasaan dan daya pengamatannya seputar fakta atau peristiwa yang terjadi dalam kehidupan harian.
Di sini saya melihat fenomena pelemahan psikologis dari para pakar atau ahli teknologi, dalam hal ini pendirinya.
Ya, mirip-mirip dengan psikologi persuasif atau dunia iklan yang kita saksikan di setiap beranda media maupun platgorm medsos lainnya.
Saya bukan anti teknologi atau dalam bahasa salah satu mantan dosen Filsafat saya di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang, yakni; Romo Valentinus Saeng yang kini menjadi Uskup di Kalimantan.
Dengan nada satirisnya, ia mengatakan dunia ini menjadi ladang pelemahan psikologi, terutama dunia kapitalisme.
Kehadiran kapitalisme kian merangkak dan memasuki bahkan mensugesti tatanan hidup setiap orang, untuk membenarkan adanya ancaman membahayakan di balik hasil kreasinya.
Dalam diam, saya pun teringat dengan kata-kata mantan Presiden, Gus Dur yakni; "GITU AJA KOK REPOT!"