Pesta demokrasi 2024 masih menyisakan dua tahun lagi, namun atmosfer ruang publik kian seksi. Keseksian itu bisa dilihat dari cuitan-cuitan propaganda yang bersileweran di jaga maya.
Rakyat kecil pun bertanya-tanya, sementara yang bijak terus tersenyum di balik layar kaca TV. Atmosfer ini menerbangkan memori kita menuju salah satu kegaduhan terbesar dalam sejarah, terlebih praktisi pendidikan sekaligus Filsuf berpengaruh Prancis, Albert Camus dan Jean - Paul Sartre.
"Aku memberontak, jadi aku ada" - Camus. Sementara, Jean-Paul Sartre membalasnya "Aku berpikir, maka aku ada." Sebenarnya, dasar dari pemikiran kedua filsuf ini merupakan kelanjutan dari ajaran filsuf terdahulu Rene Descartes yakni ' Cogito Ergo Sum/ Aku berpikir, maka aku ada.'
Elaborasi dari pemikiran tersebut, jika dikonseptualisasikan dalam politik praktis saat ini, tak lain adalah keinginan seorang politikus atau 'penyambung lidah masyarakat' beserta koloninya untuk mempengaruhi keputusan pemerintah.
Bila kita melihat teks yang lebih viral atau pun kontekstual saat ini adalah pemilihan bakal calon dan calon wakil presiden 2024. Lebih tepatnya, dari sejumlah Partai Politik yang sudah mengkotak-kotakkan kandidat mereka.
Sontak, basis pendukung dari kandidat tersebut pun mulai bermunculan. Tak bisa dimungkiri juga, bahwasannya terkadang adanya bentrokan pendapat antar pendukung.
Pemimpin pun masih saling sikut-menyikut. Apalagi mayoritas pemilih di kehidupan nyata.
Satu hal menarik pun datang dari 'BUZZER.' Pasukan siber atau anak emas  dari segelintir orang di Republik ini pun mulai menjalankan perannya.
Begitu pun perang atau penggalangan opini pun semakin tersebar luas di seantero negeri ini. Dalam kondisi tersebut, saya pun melihat karakter dari filsuf Albert Camus dan Jean - Paul Sartre semakin kuat, menjelang pesta demokrasi 2024.
Namun, catatan penting yang patut dimasukkan ke dalam kamus para pemimpin adalah pemilih semakin bijak dan cerdas. Kecerdasan dari rakyat itu pun bersumber dari tingkah laku pemimpin sendiri, selama menjalankan roda kepemimpinannya.
Rakyat semakin tahu untuk membedakan sosok pemimpin yang bisa dipegang kata-katanya, atau pun hanya sebatas 'RETORIKA' cantik dan menggoda di mimbar-mimbar yang semakin lusuh dan loyo di ruang publik.
Karena ilmu saling 'menyebar pesona' dari pemimpin di depan layar kaca TV, pun ikut mendewasakan pemikiran rakyat kecil. Jadi, hipotesa atau kesimpulan sementara di sini adalah, pemilih 2024 bakal bijak, bisa juga banyak yang memilih 'golput.'
Namun, bagaimana pun juga, sebagai pemilih, kita pun harus yakin dan percaya, bahwasannya demokrasi bangsa ini akan semakin baik, bila berada di tangan pemimpin yang tepat. Untuk itu, pilihlah pemimpin yang memiliki spirit pembangunan yang berkeadilan sosial bagi seluruh masyakart Indonesia.
Salam | Instagram: @Suni_Frederikus