Tatkala saya membaca topil Kompasiana tentang "Target Hidup,' seketika hati dan pikiran saya tertuju kepada kampung halaman tercinta. Di mana sebagai pegiat literasi, tentunya saya ingin memiliki taman bacaan sendiri di kampung halaman.
Ide untuk mendirikan taman bacaan di kampung halaman, sebenarnya sejak setahun yang lalu saya sudah rencanakan. Namun, bertabrakan dengan Pandemi, saya memutuskan untuk menundanya.
Menunda bukan berarti saya menyerah. Melainkan ada hal yang saya prioritaskan, terutama menyangkut kelangsungkan hidup saya di tengah Pandemi.
Seiring dengan bergulirnya waktu, saya mulai merasa insecure atau tertekan dengan teman sebaya saya yang sudah memiliki kehidupan yang lebih baik.Â
Dalam artian secara ekonomi sudah mapan, punya keluarga dan bisa mengelola bisnis kecil-kecilan. Sementara saya masih berjuang untuk keluar dari penjara rahim 2020-saat ini yakni Pandemi.
Saya bukan menyalahkan Pandemi, tapi saya lebih tertekan dengan keberhasilan mereka. Meskipun mulut berkata saya baik-baik saja, namun di salah satu pojok hatiku, ada keraguan yang semakin mengejarku.
Salah satu keraguan yang kian mengejarku adalah mencari problem solving (penyelesaian masalah). Masalah yang ada dalam diri saya.
Meskipun standar keberhasilan saya sudah bisa membantu orangtua, pendidikan adik-adik dan bisa membantu orang lain dari karya sederhana saya berupa tulisan. Namun, saya rasa itu tidak cukup. Karena antara kebutuhan dan keinginan selalu berbenturan.
Benturan kebutuhan dan keinginan menyebabkan hati yang kian gunda gulana untuk mengoal-kan taman bacaan yang sudah saya rencakan setahun yang lalu. Antara rasa pesimis dan optimis terkadang mengaburkan angan saya.
Angan yang sudah lama terpatri dalam semangat 45, semakin terkikis oleh rasa insecure akan keberhasilan rekan SMA. Terkadang pula saya mensyukuri pencapaian saya di dunia kepenulisan. Karena background orangtua yang hanya tamatan SD, tapi anak-anaknya bisa menulis. Itulah hal yang saya syukuri saat ini.
Selain itu, saya bersyukur karena di usia kepala dua, saya sudah mmenemukan minat dan bakat saya yang perlahan tapi pasti akan mengarahkan pada tujuan hidup saya.
Tujuan hidup saya tak lain adalah punya taman bacaan di kampung halaman tercinta. Karena kampung halaman saya banyak orang hebat, tapi egois. Mereka ingin menang sendiri dan sulit untuk diberi solusi.
Karena sekarang saya masih mencari modal dan pengalaman di tanah rantau. Harapannya dari ilmu yang saya dapatkan bisa diaplikasin bersama wajah-wajah generasi perbatasan yang selalu haus akan ilmu pengetahuan.
Inilah versi keberhasilan dan target hidup yang ingin saya gapai di usia 30-an tahun. Dan terakhir saya bisa menemukan tambatan hati. Karena sudah bosan dihina terus oleh Bung Ozzy. hihihih