Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Content Creator Tafenpah

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia || Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Turut Berduka atas Meninggalnya Hati Nurani Rakyat Indonesia

20 Februari 2021   01:00 Diperbarui: 20 Februari 2021   01:33 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesedihan atas meninggalnya hati nurani rakyat Indonesia. Foto oleh Energepic.com dari Pexels.

Sejumlah tragedi yang menimpa bangsa Indonesia, turut melemahkan hati nurani kita. Hati nurani yang seharusnya menjadi lambang persaudaraan kita, kini terasa semakin menjauh dari kehidupan kita.

Kita saling menyebar teror, hoaks, ujaran kebencian antar pribadi dan golongan di dalam kehidupan bersama. Kita memasuki kematian hati nurani bangsa. Bahaya dari kematian nurani bangsa adalah tiada pengertian antar satu dengan lainnya.

Kita terus menggerogoti negara dan para pemimpin. Seolah-olah kita ini adalah pemilik surga. Segala sesuatu yang kita lakukan selalu berlandaskan pada surga. Memangnya kita ini sudah pernah melihat surga?

Lalu kita melihat yang lain sebagai pengganggu. Pengganggu yang seharusnya disingkirkan dan tidak diberi ruang untuk tertawa, berekspresi secara bebas dalam kehidupan bersama.

Andaikan kita tidak dipisahkan oleh ajaran apapun, kita akan tetap bersatu. Karena pada kodratnya, kita tidak pernah memilih untuk dilahirkan di daerah manapun. Kita tidak pernah memilih untuk tinggal di mana, bekerja di mana, menikah dengan siapa, menganut kepercayaan apa, menjadi pro atau kontra dalam bidang kehidupan apapun.

Problematika yang di atas adalah sumber dari super-ego kita. Bila ditilik dari ajaran psikolog sekaligus filsuf Sigmund Freud, kehidupan kita dilandasi oleh 3 hal, yakni id, ego dan super-ego.

Antara id, ego dan super-ego memiliki korelasi. Seirama harmoni melodi kata, suara dan tatapan mata kita kepada fenomenologis politik bangsa saat ini. Namun, sayangnya, di sini saya tidak mengulik ketiga masalah psikis menurut ajaran Sigmund Freud ya sobat.

Saya merasa tidak nyaman dengan politik sih. Tapi, bagaimanapun juga politik adalah pusat mati dan hidupnya suatu bangsa. Maju dan mundurnya suatu bangsa terletak pada sosok yang mengayomi, menginspirasi dan memiliki sikap netral dalam hubungan diplomatik antar negara. Bersyukur kita menganut paham Non-Blok atau politik luar negeri bebas aktif secara bertanggung jawab. Inilah kelebihan yang dimiliki oleh bangsa kita.

Sementara kelemahannya adalah kita yang merasa kesulitan untuk menerapkannya di dalam kehidupan bersama di dalam negara kita. Karena kita masih hidup dalam super-ego untuk terus meneror, menghantui dan memata-matai rekan kita. Akibatnya, antara kita dan sesama tidak sepenuhnya merasakan kebebasan ekspresi di dalam kehidupan bersama.

Penjajahan fisik sudah berlalu. Tapi, penjajahan mental sulit untuk kita hindari di era 21. Memang apa yang terlihat di luar sangat baik dan sempuran di mata orang lain ataupun bangsa lain. Tapi, sangat jelek dan tak bermoral dalam kehidupan kita sebagai sesama suku bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun