Mohon tunggu...
Freddy
Freddy Mohon Tunggu... Konsultan - Sales - Marketing - Operation

To complete tasks and working target perfectly. Leave path in a trail.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kritik untuk "Bumi Manusia", Karakter Seorang Anak Priayi

1 September 2019   19:49 Diperbarui: 24 Juli 2021   13:59 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dokumen Falcon Pictures

Entah mengapa hanya saya satu-satunya yang kurang menikmati film Bumi Manusia. Teman saya sampai berlinang air matanya di ujung penghabisan film. Sementara saya tetap dengan ekspresi datar dari awal hingga akhir film.

Menurut saya di film ini, karakter Minke yang dimainkan Iqbaal Ramadhan kurang cocok untuk dirinya. Saya lebih suka dan melihat Iqbaal Ramadhan lebih bermain lepas dalam berperan sebagai anak muda modern yang slengean, atau seorang penggoda wanita dengan humor-humornya yang segar. 

Sementara di Film Bumi Manusia ini, Iqbaal Ramadhan menampilkan karakter seseorang yang selalu tegang, cemas, ragu-ragu bahkan seperti takut-takut. 

Entahlah, mungkin ini karakter yang ingin ditampilkan sutradara film untuk diperankan Iqbaal Ramadhan untuk menggambarkan bagaimana tegangnya suasana di jaman kolonial. Namun demikian, menurut saya gambaran karakter seorang Minke tetap kurang tepat. Minke (Raden Mas Tiro Adhie), lahir dari Kaum Priayi (kaum Bangsawan). Ayah Minke adalah seoang Bupati. Sebagaimana layaknya Kaum Priayi, anak-anaknya dibesarkan dengan segala kebesaran dari orang tua nya, dan kalaupun ia tidak tumbuh dewasa menjadi pribadi congkak, paling tidak ia bukan penakut. Sementara dari awal film hingga akhir, saya hanya melihat ekspresi Minke yang tegang, ragu-ragu / bingung dan takut. Sama sekali tidak mencerminkan didikan dari seorang ayah yang menjadi pejabat Bupati di masa kolonialisme. Jujur saya terganggu dengan karakter Minke. Ditambah lagi dengan musik latar yang menurut saya tidak cocok, saya jadi lebih terganggu. 

Memang benar di Jaman Kolonial, kaum Pribumi dianggap sebagai golongan kelas dua. Namun pejabat pemerintahan daerah yang dijabat oleh kaum pribumi memiliki status sosial yang lebih tinggi. 

Sehingga seorang anak Bupati tidak (seharusnya) memiliki sifat takut-takut, tegang. Apalagi ia bersekolah di sekolah yang berisi anak-anak Belanda, dimana pergaulan dan memilki teman anak-anak Indo atau Belanda adalah sesuatu yang biasa. 

Gambaran karakter seorang Minke yang selalu tegang, ragu, agak takut-takut kepada siapapun sulit saya pahami. Sebagai seorang Anak Priayi, saya mengharapkan seorang Minke yang lebih optimis, lebih berani dalam bersikap dan tidak ragu-ragu dalam bertindak. 

Bahkan di saat Minke menjalankan prosesi pemandian pun, wajah tegang nya tetap muncul. Sedemikian tegang nya kah situasi dan suasana saat itu sehingga prosesi menjelang pernikahannya pun harus dijalankan dengan wajah tegang?

Namun saya sempat lega melihat Iqbaal Ramadhan bermain dengan ekspresi lebih lepas, yaitu saat Annelies meminta Iqbaal menceritakan suatu kisah bagi nya saat Minke menemani Annelies di kamarnya. Wajah tegang Iqbal hilang dan berkesan lebih alami menghayati perannya. Kemudian di momen lain dimana Minke menggandeng tangan Annelies dan mengumumkan rencana pernikahan Minke dengan Annelies di hadapan teman-temannya di sekolah. Saya merasa menemukan Iqbaal Ramadhan yang sesungguhnya. 

Karakter yang ditampilkan dalam diri Minke saya nilai bertolak belakang dengan semangat Minke yang memperjuangkan kesetaraan ras. Sebagai orang yang memperjuangkan hak dan kesetaraan ras, Minke dengan statusnya sebagai anak Priayi harusnya tampil sebagai seorang yang tenang, berwibawa dan tegas. 

Memang seorang yang berjuang tidak harus selalu digambarkan dengan karakter yang berapi-api, tapi yang pasti juga bukan seorang yang selalu tegang, ragu dan agak takut-takut dalam bertindak. 

Secara garis besar saya menilai alur cerita dalam film Bumi Manusia berjalan agak lambat. Selain itu juga timbul pertanyaan saya setelah film berakhir : mengapa pemilik rumah candu (ko Atjong?) ingin meracuni pelanggan setianya yang memberikan keuntungan bisnis bagi Ko Atjong?.

Saya hanya bisa menduga bahwa kemungkinan ini adalah konspirasi Atjong dengan Mauritz Mellema, anak dari istri pertama Herman Mellema yang ingin merebut harta warisan. Namun tidak ada benang merah bagaimana Mauritz Mellema bisa terhubung dengan Atjong.

 Tapi diluar kritik saya tersebut, ada beberapa poin positif yang saya catat dari pesan yang ingin disampaikan dalam Film Bumi Manusia ini :

1. Jurnalistik memiliki peran penting dalam menegakkan keadilan.

2. Kita diperlihatkan bagaimana pedihnya bangsa kita saat mengalami ketidakadilan sosial di masa penjajahan. Oleh sebab itu, tidaklah pantas kalau kita menyia-siakan nyawa yang dikorbankan para pejuang untuk meraih kemerdekaan, namun masih ada terjadi ketidak adilan bagi sesama anak bangsa di negeri kita.

Jujur, saya rindu menonton film produksi anak negeri yang bisa menampilkan suasana jaman dulu dimana masyarakatnya bersatu, suatu kondisi dimana saat itu belum ada merasa harus bertanya : kamu agama dan suku nya apa?

Film Bumi Manusia ini memenuhi kerinduan saya akan hal tersebut, dan semoga semakin banyak film dalam negeri yang mengangkat tema-tema serta suasana yang mengingatkan kepada kita semua akan indahnya kebersamaan kita, indahnya beragam budaya dan kearifan lokal di negeri tercinta Indonesia.

Ngomong-ngomong, saya jadi merasa bersalah pada film ini. Jangan-jangan ekspresi datar saya sepanjang film karena saya tidak fokus menikmati film, melainkan sibuk mencatat hal apa yang akan saya sampaikan dalam artikel ini.....

Salam,
Freddy Kwan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun