Mohon tunggu...
Freddy
Freddy Mohon Tunggu... Konsultan - Sales - Marketing - Operation

To complete tasks and working target perfectly. Leave path in a trail.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Strategi Salah Kaprah dalam Karier

15 Agustus 2019   23:11 Diperbarui: 29 Agustus 2019   21:16 1802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KBBI: Salah kaprah adalah kesalahan dimana orang yang melakukannya tidak merasakan sebagai suatu kesalahan.

Dalam beberapa tahun ini saya banyak melihat dan mendengar cerita mengenai eksekutif dari perusahaan A yang mengalami kegagalan di saat bergabung ke perusahaan B. Padahal di perusahaan A, yang bersangkutan mencatat kesuksesan. Namun kesuksesannya tidak berlanjut di saat pindah ke perusahaan baru. 

Padahal seharusnya kesuksesan di perusahaan lama adalah modal untuk mengulang kesuksesannya di tempat baru. Dan umumnya, yang pasti kalau di tempat lama saja tidak pernah mencatat kesuksesan, bagaimana mugkin bisa mencatat kesuksesan di tempat baru?

Memang ada beberapa faktor yang jadi pertimbangan atas sukses atau gagalnya seorang eksekutif di perusahaan baru. Faktor tersebut antara lain:

1. Kesamaan industri perusahaan lama dengan perusahaan baru

2. Budaya kerja di perusahaan lama dengan perusahaan baru

3. Kualitas team dan karyawan di perusahaan lama dengan perusahaan baru

Dari ketiga faktor tersebut, point nomor 2 dan 3 menjadi faktor penentu kecepatan seorang eksekutif untuk menggapai kesuksesan di tempat baru, namun bukan penghalang dalam mencapai kesuksesan. Karena sebagai seorang eksekutif, budaya kerja bisa diubah dan seorang eksekutif juga punya kapabilitas dalam meningkatkan kualitas team serta karyawan perusahaan. 

Dalam artikel saya sebelumnya, saya telah menyampaikan bahwa Budaya kerja itu Top Down, bukan Bottom Up. Seorang eksekutif yang profesionalismenya telah teruji, tidak akan membiarkan budaya kerja negatif eksis di lingkungannya. Ia akan dan punya kemampuan untuk mengubah budaya kerja yang negatif di lingkungannya ke budaya kerja yang positif.

Sementara point nomor 1 diatas menurut saya juga sama sekali bukan penghalang. Bidang boleh berbeda,produk dan jasa bisa berbeda, namun apapun juga produk dan jasanya, apapun industrinya, kalau kita bicara Pemasaran, kita tetap membahas Marketing Mix yang sama : 4P = Product-Place-Price-Promotion. 

Bidang industri yang berbeda tidak serta merta membuat 4P berubah. Jadi, yang berbeda adalah mungkin produknya, distribusinya (place), atau segmentasinya (price), atau juga cara berpromosinya. Namun semuanya tetap dalam koridor 4P. 

Contohnya : di industri FMCG, Place didefinisikan sebagai seberapa luas distribusi produknya ke konsumen? Apakah penetrasi pasar sudah merata atau belum? 

Sementara di industri properti, Place di definisikan sebagai Lokasi properti yg dipasarkan.

Lantas apa sebenarnya faktor yang membuat seorang eksekutif yang sukses di perusahaan lama, namun gagal di saat bergabung ke perusahaan baru?

Dari kasus-kasus yang saya lihat, dengar dan amati, saya mengambil kesimpulan bahwa kegagalan seorang eksekutif di tempat baru didominasi oleh kegagalannya dalam mengembangkan potensi dirinya. 

Sebagai manusia dengan ego nya, di saat kita mengalami kesuksesan di suatu perusahaan, seringkali membuat kita terlena dan malas berpikir kembali sehingga kita hanya meng-copy paste apa yang pernah dan sudah dilakukan dulu di tempat lama lalu diterapkan 100% di perusahaan baru; tanpa mau menganalisa kondisi di perusahaan baru, budaya kerja, karakter produk / jasa nya, dan sebagainya. 

Jadi kita membiarkan ego yang mengambil alih cara berpikir kita: dulu saja disana bisa, mengapa disini gak bisa?. Ini lah yang saya sebut sebagai Strategi Salah Kaprah. 

Strateginya mungkin tepat di perusahaan lama, namun belum tentu tepat di tempat baru. Lalu di saat strategi yang dijalankan tidak berhasil, eksekutif ini tetap merasa benar dan balik menyalahkan team dan karyawan di perusahaan baru. Akhirnya potensi dirinya pun mengalami stagnasi. 

Harusnya sebelum kita menerapkan cara-cara lama yang dianggap berhasil di tempat lain, kita melakukan analisa mendalam. Permasalahan yang dihadapi perusahaan A dengan B pasti tidak sama. 

Dengan analisa, kita jadi memiliki data akurat mengenai kondisi dan permasalahan di perusahaan baru. Baru setelah itu mencari solusi dan melakukan perbaikan. Karena walaupun kita pindah ke perusahaan baru yg sama persis bidang usahanya dengan perusahaan lama, belum tentu solusi dan strateyinya sama. 

Beberapa hari lalu saya memiliki kesempatan utk bertemu dan berdiskusi dengan seorang agen besar makanan beku. Kita berdiskusi mengenai satu produsen nasional makanan beku yang merupakan salah satu pelopor dalam industri tersebut. 

Beberapa waktu lalu perusahaan ini merekrut eksekutif dari sebuah perusahaan FMCG yang sangat terkenal. Seperti biasa, eksekutif tersebut lalu menarik gerbong. Team utama dari perusahaan lama ditarik semua untuk membantu di perusahaan baru, industri makanan beku ini.

Informasi yang saya terima dari agen tersebut, perusahaan makanan beku ini segera melakukan investasi besar-besaran dalam pengadaan lemari pendingin freezer. Dan caranya mengadopsi utuh sistem kerja di industri FMCG sebelumnya : yaitu menyebarkan freezer langsung ke retailer (traditional channel) yaitu warung-warung. 

Di industri FMCG sebelumnya, memang cara ini sangat efektif. Penetrasi langsung ke retailer. Seluruh warung yang ada harus menjual produknya. Jadi di industri makanan beku ini juga demikian. 

Semua warung harus menjual produk makanan bekunya. Namun karena produk makanan beku tidak bisa disimpan dalam box yang hanya ditaruh es batu supaya tetap dingin/beku, melainkan butuh freezer, maka kepada warung-warung, agen-agen makanan beku kecil, disediakan freezer khusus menyimpan produk dari perusahaan tersebut.

Hasilnya ? Setelah berjalan 1 bulan, banyak pemilik warung teriak. Penjualan sedikit. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan produk makanan beku tersebut bahkan tidak bisa menutup biaya listrik guna mengoperasikan freezer. 

Kaget karena biaya listrik bengkak, akhirnya banyak warung yang meminta principal menarik kembali freezernya dan tidak mau menjual produk makanan bekunya lagi.

Juga beberapa tahun lalu saya melihat bagaimana seorang eksekutif yang dinyatakan sukses berkarir di bidang Industrial Goods, saat bergabung ke sebuah perusahaan FMCG, tidak bisa memenuhi harapan pemilik perusahaan guna mendongkrak kinerja penjualannya. 

Masalahnya, sama. Eksekutif tersebut mengaplikasikan cara berpikir dan cara kerja di perusahaan lama bidang Industrial Goods ke perusahaan baru Consumer Goods. 

Kalau di Industrial Goods, lazim kita ketahui bahwa pengetahuan produk serta spesifikasi produk sangat penting dalam membantu jualan. Di Industrial goods kita mayoritas bicara spesifikasi produk, setelah itu harga. Harga di Industrial Goods sangat sensitif karena biasanya pembelian dalam volume yg besar.

Apabila perusahaan klien membutuhkan produk dengan spesifikasi yang sama dengan produk yg kita pasarkan, hal ini akan sangat memudahkan kita dalam berjualan (faktor lain : relationship dengan klien). Namun sebaliknya kalau spesifikasi yg ditawarkan jauh berbeda dari permintaan perusahaan calon pembeli, mau diberikan promosi hadiah apapun juga, klien tidak akan beli. 

Pada saat eksekutif ini pindah ke perusahaan Consumer Goods, ia dengan semangat tinggi membawa cara berpikir lama nya : jualan itu tonjolkan spesifikasi produk. Trade Promo, Program Kontrak Penjualan ke grosir dan retailer ditiadakan. Alasannya : produk milik perusahaanbsudah bagus, lagipula ini perusahaan, bukan sinterklas yang suka membagi bagikan hadiah. 

Apa yang terjadi kemudian? Kompetitor yang membaca "gerakan baru sang eksekutif ini yang tanpa jor-joran promosi dan konrak penjualan" semua perusahaan kompetitor segera lebih aktif dalam berpromosi. Retailer dimanjakan dengan berbagai hadiah dari paket kontrak penjualan dari perusahaan kompetitor.  Dan ini berlangsung selama bertahun tahun.

Hasilnya? Perlahan produk perusahaan ini tersingkir di pasar oleh kompetitor. Mengapa? Karena retailer sudah berpaling muka ke kompetitor.

Khusus untuk kejadian terakhir ini saya ingin menambahkan, memang benar di industrial goods jualannya menitik beratkan pada spesifikasi produk dan juga sensitivitas harga. 

Namun di consumer goods hal ini tidak berlaku. Konsumen di Consumer Goods tidak perlu spesifikasi produk (ada namun bukan pertimbangan utama), dan konsumen bersedia membayar harga lebih tinggi asalkan mendapatkan pelayanan yang lebih baik, atau karena faktor gengsi. Di Consumer Goods, yang penting adalah bagaimana caranya memainkan emosional konsumen dari tidak minat beli menjadi mau membeli. Jauh berbeda dengan Industrial Goods.

Di kasus lain, saya mendengar ekspatriat dari Negara Maju yang saat penugasan di Indonesia tidak mau mengubah cara berpikir serta tidak melakukan analisa mendalam. Sehingga mereka hanya bisa (mau) menerapkan cara dan strategi lamanya yang dianggap telah berhasil di negara asalnya. 

Padahal sudah pasti budaya bekerja berbeda, geografis berbeda, pola dan tabiat konsumsi dari konsumen juga berbeda, namun tetap saja berpegang teguh pada cara-cara kerja dan strategi yang dianggapnya "sudah benar" dan teruji di negara asalnya.

Hasilnya? Kinerja penjualannya tumbuh sangat lambat dan tertinggal dari perusahaan sejenis di Indonesia.

Masih ada 2 kasus yang saya ketahui. Namun semuanya memiliki kesamaan : Salah Kaprah dalam Strategi, tidak mau melakukan analisa mendalam sebelum menerapkan sebuah strategi yang tepat. Terlalu melekat pada kenangan di tempat lama dan ego yang tinggi.

Oleh sebab itu, penting bagi seorang eksekutif untuk melepas ego nya dan mau "turun ke lapangan" untuk menganalisa, mencari informasi pasar dan "belajar" dari bawah kembali. 

Tanpa ini semua, eksekutif akan terjebak pada ego yang membawanya menjalankan Strategi Salah Kaprah : strateginya tidak tepat di tempat dan waktu yang salah, namun masih ngotot merasa ini yang paling benar dan tidak mau merubahnya. Semoga hal ini tidak terjadi kepada kita semua.

Best Regards,
Freddy Kwan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun