Nama dua kapal, JKW dan Dewi Iriana, mendadak menyita perhatian publik. Penyebabnya bukan sekadar soal muatan, tetapi soal penamaan. Nama yang menyerupai Presiden ketujuh Republik Indonesia dan istrinya ini menimbulkan tanda tanya di tengah masyarakat yang mulai peka membaca simbol dan makna tersembunyi.
Perbincangan mencuat karena banyak warganet mengaitkan keberadaan kapal tersebut dengan aktivitas Pertambangan Nikel di kawasan timur Indonesia, termasuk Raja Ampat yang kaya sumber daya namun rentan eksploitasi. Narasi berkembang cepat. Ada yang menilai nama kapal itu sebagai bentuk glorifikasi. Ada pula yang membaca sebagai cara halus menancapkan hegemoni.
Namun, setelah ditelusuri lebih dalam, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa kapal JKW Mahakam dan Dewi Iriana pernah bersandar atau beroperasi di perairan Raja Ampat. Beberapa pelacak posisi kapal justru mencatat keduanya berada di wilayah perairan Kalimantan dan Sulawesi. Isu soal keberadaan kapal di Raja Ampat tampaknya tumbuh dari simpang siur informasi yang tidak diverifikasi secara utuh.Â
Maka, koreksi terhadap fakta ini penting untuk menjaga integritas informasi dan mencegah pembentukan opini yang keliru.
Meski demikian, publik tetap berhak bertanya. Mengapa nama-nama itu dipilih? Apakah pemilihan nama yang identik dengan tokoh nasional hanya kebetulan semata? Atau ada maksud tertentu yang belum terungkap ke permukaan?
Pihak perusahaan pemilik kapal telah memberikan klarifikasi. Mereka menyatakan bahwa penamaan tersebut tidak ada kaitannya dengan Mantan Presiden Joko Widodo dan Iriana. Nama-nama itu disebut sebagai bagian dari kode internal perusahaan, tanpa maksud politis atau personal.
Namun, dalam demokrasi yang sehat, klarifikasi teknis tak cukup. Publik tidak sekadar menilai apa yang dikatakan, tetapi juga konteks dan dampaknya. Terlebih ketika nama yang digunakan berkaitan dengan tokoh yang memiliki kekuatan simbolik besar di mata masyarakat. Nama bukan hanya aksara. Ia adalah tanda. Ia adalah makna yang bisa menggerakkan opini atau menciptakan ilusi kuasa.
Simbol bisa bekerja lebih tajam dari pidato. Di masa ketika nama bisa disulap menjadi alat penetrasi pengaruh, bahkan legitimasi. Maka, sensitivitas terhadap simbol adalah bagian dari kesadaran kolektif untuk menjaga ruang publik dari penyelundupan makna yang menyesatkan.
Karena itu, pengawasan publik terhadap penggunaan nama tokoh nasional di sarana Komersial bukan hal yang berlebihan. Justru itu bukti bahwa demokrasi bekerja. Bukti bahwa masyarakat tidak lagi menelan begitu saja simbol-simbol yang hadir tanpa penjelasan.