Di antara riuh dunia yang terus bergejolak, di tengah berita perang, kemiskinan, dan krisis kepercayaan, kita diingatkan pada satu momen yang sunyi dan penuh makna, yaitu ketika Yesus naik ke surga. Bukan dengan sorak-sorai kemenangan, melainkan dengan diam yang menyentuh hati. Jika peristiwa itu terjadi pada hari ini, di zaman ketika manusia merasa cukup dengan dirinya sendiri, warisan apa yang sesungguhnya Ia tinggalkan?
Yesus tidak meninggalkan harta, tidak membangun istana, tidak menciptakan sistem politik atau ekonomi. Ia hanya mewariskan satu hal yang kini justru semakin langka, yakni kasih. Dalam dunia yang berlomba mencari kemajuan dan pencapaian, kasih sering kali tersisih. Ia menjadi topik pembahasan dalam ruang ibadah, namun tidak selalu hadir dalam keseharian.
Kenaikan Yesus ke surga bukanlah bentuk pelepasan, melainkan pernyataan kepercayaan. Dunia dipercayakan kepada manusia. Kita yang tinggal bukan sekadar menjadi pewaris, tetapi pemegang amanah. Kita diminta meneruskan cinta itu, bukan sebagai wacana, tetapi sebagai laku hidup. Namun yang terjadi, kita justru lebih nyaman menjadi penonton. Kita hadir dalam ibadah, tetapi enggan hadir dalam pergulatan hidup sesama.
Jika Yesus naik ke surga hari ini, apa yang akan Ia lihat dari atas sana? Apakah Ia menyaksikan umat yang saling mengasihi, atau justru saling mencurigai dan menyakiti? Apakah Ia melihat rumah-rumah ibadah yang terbuka bagi mereka yang lapar dan tersingkir, atau bangunan megah yang tertutup bagi yang tidak dianggap layak?
Kenaikan bukan akhir dari sebuah kisah, melainkan awal dari kepercayaan. Dunia dipercayakan kepada kita, dan di titik inilah kita diuji. Apakah kita sanggup menjadi perpanjangan tangan-Nya? Ataukah kita lebih memilih untuk berdoa panjang tanpa pernah turun tangan?
Yesus tidak meninggalkan panduan tertulis yang rinci. Ia hanya memberi teladan, dengan mencuci kaki, menyentuh mereka yang dikucilkan, duduk bersama orang berdosa, dan menangis bersama yang berduka. Setelah kepergian-Nya, semua itu menjadi tanggung jawab kita. Pertanyaannya adalah apakah kita menganggap itu sebagai panggilan atau hanya cerita masa lalu yang tak lagi relevan.
Dunia hari ini merindukan kehadiran Tuhan. Namun yang sering mereka temui justru orang-orang yang mengaku mewakili-Nya, tetapi gagal menunjukkan kasih. Dari sinilah krisis kepercayaan tumbuh. Tuhan terasa jauh bukan karena Ia menghilang, melainkan karena kita gagal memantulkan cahaya-Nya.
Kenaikan Yesus seharusnya tidak membuat kita menatap langit sambil bertanya ke mana Ia pergi, melainkan menunduk dan bertanya apa yang bisa kita lakukan. Dunia tidak kekurangan ceramah, tetapi kekurangan teladan. Tidak kekurangan pemimpin rohani, tetapi kekurangan pelaku cinta.
Ketika Yesus naik ke surga, Ia tidak membawa tubuh-Nya dalam kejayaan, melainkan dalam luka. Luka salib, luka pengkhianatan, luka kemanusiaan. Semua itu bukan tanda kekalahan, melainkan pengingat bahwa cinta selalu menanggung beban. Maka jika kita ingin menjadi penerus kasih itu, kita harus siap untuk tidak populer, siap berjalan melawan arus, dan tetap mencintai sekalipun tidak dianggap.
Di tengah kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi, kenaikan Yesus justru mengajak kita kembali pada hal-hal yang mendasar. Mengasihi tanpa pamrih, memaafkan dengan tulus, dan melayani tanpa syarat. Bukan karena itu mudah, melainkan karena itulah yang membuat manusia tetap manusia.