Mohon tunggu...
FRANSISKUS LATURE
FRANSISKUS LATURE Mohon Tunggu... Advokat | Penulis | Managing Partner FLP Law Firm

Antara hukum dan kemanusiaan, saya memilih berjalan di garis tipis yang memisahkan keduanya. Menulis untuk memastikan kebenaran tetap hidup di tengah bisingnya zaman.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menitipkan Anak Nakal ke Barak, Apa Kata Hukum?

19 Mei 2025   10:37 Diperbarui: 19 Mei 2025   10:37 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena baru kembali mencuat di tengah masyarakat, ketika sejumlah kepala daerah di Indonesia mulai mengadopsi pola penanganan anak bermasalah dengan menitipkan mereka ke barak militer. Langkah ini pertama kali menarik perhatian publik ketika Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat, menggagas program tersebut sebagai upaya pembinaan karakter anak. Kini, praktik serupa terlihat dilakukan di beberapa wilayah lain seperti Subang, Cianjur, dan beberapa kabupaten lainnya.

Dari perspektif hukum, inisiatif ini bukan tanpa dasar. Ada kebutuhan riil dari masyarakat untuk mengatasi perilaku menyimpang anak-anak yang mulai sulit dikendalikan oleh lingkungan keluarga maupun sekolah. Namun, ketika solusi diarahkan pada institusi yang memiliki kultur kedisiplinan keras seperti barak militer, maka persoalan tak hanya berhenti pada efektivitas, tetapi juga menyangkut legalitas dan batasan etik.

Indonesia telah memiliki payung hukum yang cukup komprehensif dalam menjamin hak anak. Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur bahwa setiap anak berhak atas pengasuhan, perlindungan, dan pendidikan yang layak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Menitipkan anak ke institusi dengan pendekatan militer harus dipastikan tidak menimbulkan tekanan psikologis yang justru mengikis jati diri mereka. Apalagi bila tidak ada prosedur resmi, persetujuan orang tua, dan pendampingan profesional dari tenaga ahli yang kompeten di bidang tumbuh kembang anak.

Baca Juga : Kalau Nakal Nanti Dijemput Pak Dedi

Kita harus sadar bahwa tidak semua tindakan pembinaan identik dengan kebaikan. Niat baik sering kali bisa melahirkan masalah baru jika dilaksanakan secara tergesa dan tidak melibatkan pendekatan multidisipliner. Dalam hukum pidana anak, pendekatan yang diutamakan bukan penghukuman, melainkan pemulihan. Maka penting untuk membedakan apakah program ini bersifat punitif atau benar-benar edukatif.

Namun di sisi lain, tak dapat dimungkiri bahwa anak-anak yang terseret dalam pergaulan bebas, geng motor, hingga bolos sekolah secara terus-menerus, memang membutuhkan lingkungan baru yang mampu menanamkan tanggung jawab sosial dan disiplin. Bila lembaga seperti barak militer disiapkan sebagai tempat pengasuhan alternatif yang didesain khusus untuk anak-anak dengan perilaku berisiko, maka program ini bisa menjadi terobosan sosial yang layak diapresiasi.

Hanya saja, untuk dapat diterima secara hukum, program seperti ini memerlukan regulasi yang jelas. Pemerintah daerah semestinya menggandeng lembaga seperti Dinas Sosial, KPAI, serta kalangan profesional, agar pelaksanaannya tidak bertentangan dengan prinsip perlindungan anak. Jangan sampai keinginan membentuk generasi tangguh justru dibayar dengan hilangnya rasa aman dan percaya diri anak di masa depan.

Sebagai praktisi, saya melihat peluang dari program ini, asal dijalankan dengan pendekatan yang manusiawi dan tetap mengedepankan hak anak. Barak atau lembaga serupa bisa menjadi ruang refleksi dan transformasi karakter, jika tidak diisi dengan kekerasan verbal atau fisik, melainkan dengan penguatan nilai, pelatihan keterampilan, dan konseling psikologis.

Kita tidak sedang mencari kambing hitam atas kegagalan pola asuh, tetapi mencoba membangun jembatan agar anak-anak yang tersesat jalan bisa kembali ke rel yang benar. Selama ada itikad baik, pengawasan ketat, dan dasar hukum yang kuat, maka menitipkan anak ke barak bukanlah tindakan yang harus ditolak mentah-mentah. Hukum tidak hadir untuk mematikan kreativitas sosial, melainkan memastikan bahwa setiap tindakan memiliki arah yang tepat dan tidak melanggar hak-hak dasar manusia.

Program ini bisa menjadi praktik baik apabila disertai evaluasi berkelanjutan dan dibingkai dalam kebijakan daerah yang akuntabel. Di tengah krisis figur dan disiplin dalam keluarga modern, masyarakat membutuhkan lebih dari sekadar teori pendidikan. Mereka butuh solusi yang nyata, meski mungkin belum sempurna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun