Mohon tunggu...
Fransisko Rondidan
Fransisko Rondidan Mohon Tunggu... Lainnya - perajut kata

mahasiswa STFT Widya Sasana, Malang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dunia yang Sakit

14 Juli 2021   11:11 Diperbarui: 14 Juli 2021   11:31 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kita hidup di sebuah dunia yang sakit". Kata seorang perempuan dalam drama yang dibuat Gabriel Marcel. "Dunia yang sakit" katanya, "Dunia yang seperti jam rusak. Tidak lagi berdetak. Dunia yang dulu punya jantung, tapi kini jantungnya tidak berdetak lagi". Apa yang dikatakan si perempuan dalam drama ini menggunggah rasa penasaran. Apa yang dimaksudnya dengan dunia yang sakit? Gabriel Marcel-sang sutradara-menerangkan bahwa yang pasti dunia itu bukanlah dunia gaib atau supranatural, tetapi dunia manusia. Lantas, jika dunia ini adalah sebuah dunia yang sakit, apakah penyakitnya?

Piala Eropa yang dihelat selama sebulan sejak 21 Juni sampai 12 Juli 2021 telah mencuri perhatian masyarakat dunia. Hal ini tidak terlepas dari daya atraktifnya yang besar karena mempertemukan negara-negara besar Eropa yang memiliki kekuatan sepakbola yang merata. Perhelatan ini pun berakhir dengan kegembiraan para penggemar Italia karena jagaon mereka keluar sebagai pemenang dengan mengandaskan Inggris di partai final lewat adu penalti setelah berakhir imbang di waktu normal. Inggris, Sang tuan rumah, mengakui keunggulan Italia setelah tiga penendang mereka yakni Rasford, Saka, dan Sancho gagal mengelabuhi Donaruma. Namun, bukanlah pertandingannya yang menjadi fokus tulisan ini, tetapi yang terjadi setelah ketiga pemain Inggris itu gagal mengeksekusi penalti. Yakni soal rasisme.

Rasisme dalam sepakbola tentu bukan hal baru. Itu telah menjadi sesuatu banal. Ini terlihat dari apa yang dialami ketiga pemain Inggris ini. Mereka dibuli dengan kata-kata rasis di akun media sosial mereka. Tindakan rasisme ini jelas tidak bisa dibenarkan dari segala sudut pandang. Ini dikarenakan tindakan ini mencedarai hakikat seorang manusia yang pada intinya tidak terbatas pada ciri-ciri fisik semata. Dengan kata lain, rasisme menjadi sebuah tanda kemunduran manusia untuk melihat manusia lainnya sebagai dirinya yang lain, yang mesti dicintai, dihargai, dihormati dan dikasihi karena kekhasan sebagai manusia. Maurice Blondel mengatakan "tindakanku adalah fakta yang paling menyeluruh dan konstan dalam hidupku". Di sini, Blondel hendak menegaskan bahwa tindakan manusia itu adalah pencetusan dirinya yang kompleks. Sederhananya, tindakan manusia itu reprensentasi dirinya. Lantas, rasisme sebagai sebuah tindakan manusia adalah representasi seorang manusia yang tidak menghargai manusia yang lain dengan ciri-ciri fisik yang berbeda darinya. Mereka, orang-orang yang bertindak rasis, tidak ubahnya adalah gerombolan purba. Meminjam bahasanya Gerard Colm, mereka adalah gerombolan purba. Kumpulan orang-orang lunatik, sakit jiwa, dan pengacau yang bertindak tanpa berpikir. Mereka bertindak seakan dunia ini hanya ditempati mereka seorang sehingga yang lain itu mesti disingkirkan.

Dengan demikian, rasisme adalah satu di antara banyaknya gejala yang menujukan bahwa dunia ini benar-benar sakit. Rasisme dengan sendirinya telah menjadi penyakit yang sulit disembuhkan karena vaksinnya tidak ditemukan di rumah sakit, apotek, atau obat-obatan tradisional. Karena, obatnya ada pada dan di dalam diri seseorang. Itu yakni hati nurani. Hati nurani adalah obat yang paling manjur untuk mengobati rasisme ini. Karena itu, manusia pada intinya mesti mengenal hati nuraninya karena hati nurani itu yang mampu membimbing seseorang dalam bertindak.

Dalam kasus rasisme yang dialami Rashford, Sancho, dan Saka, telah terjadi pengurungan hati nurani yang dilakuakn para pelaku sendiri. Artinya, orang-orang yang bertindak rasis itu telah menyimpan dalam kurung hati nurani mereka. Sehingga mereka menepatkan yang lain lebih rendah dari mereka. Orang lain dilihat sebagai liyan yang tidak sederajat dengan mereka karena ciri-ciri fisik yang berbeda. Sehingga mereka merasa diri superior di hadapan yang lain. Akibatnya, mereka tidak merasa diri bersalah atas apa yang mereka perbuat, atau mungkin itu dilihat sebagai hal yang wajar saja.

Akhirnya, "Kita hidup di sebuah dunia yang sakit" kata si perempuan dalam drama Gabriel Marcel. Tentu. Kita pun akan tetap hidup di dunia yang sakit ini tanpa kepastian akan sembuh. Mari berharap bersama si perempuan, Rashford, Sancho, dan Saka. Stop rasisme.

 

Sumber

Dewantara, Agustinus W. FILSAFAT MORAL (Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia).     Yogyakarta: Kanisius, 2017.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun