Pertanyaan polos dari seorang murid mengguncang cara mengajar saya. Inilah refleksi bagaimana membuat pelajaran terasa relevan dan bermakna.
"Bu, kenapa kita belajar ini? Memangnya nanti kepakai?"
Pertanyaan itu dilontarkan Amos, siswa kelas VIII. Wajahnya polos tapi serius. Tidak ada nada menantang. Ia sungguh ingin tahu. Tapi kalimat itu mengguncang isi kepala saya sebagai guru.
Kelas mendadak hening. Suasana siang itu berubah. Beberapa siswa menoleh. Saya tahu, mereka pun menantikan jawaban. Tapi justru di kepala saya muncul lebih banyak tanya: Sudahkah saya menjelaskan "mengapa ini penting" sebelum "bagaimana cara mengerjakannya"?
Ketika Kelas Menjadi Cermin Diri
Hari itu saya sedang mengajarkan teks eksposisi. Materi sudah saya siapkan dengan rapi. PowerPoint interaktif, lembar kerja menarik, dan bahkan kutipan tokoh terkenal saya sematkan di awal pertemuan.
Namun, satu pertanyaan Amos membuat semua itu terasa hambar. Materi yang saya anggap siap ternyata belum menyentuh kebutuhan paling dasar murid: alasan untuk peduli.
Saya pulang dengan kepala penuh pikiran. Apakah saya terlalu terpaku pada capaian kurikulum? Apakah saya lupa bertanya: "Apa makna materi ini bagi mereka?"
Malam itu saya teringat kembali masa sekolah saya. Saya juga pernah duduk sebagai murid yang bosan. Pelajaran yang terasa jauh dari hidup membuat saya mengantuk. Kini, saya takut mengulang kesalahan yang dulu saya keluhkan.
Saat Pelajaran Terasa Tak Relevan
Teks eksposisi. Apa artinya bagi mereka? Sebagian murid mungkin menganggap itu sekadar bahan ujian. Padahal, kemampuan menyusun argumen sangat penting untuk kehidupan nyata baik sebagai pelajar, profesional, maupun warga negara.
Banyak murid kesulitan memahami manfaat jangka panjang dari pelajaran di kelas. Bukan karena mereka tidak mampu. Tapi karena kita, para guru, kadang lupa menjelaskan konteks.