Aparat penegak hukum seharusnya menjadi garda terakhir ketika keadilan terancam. Mereka adalah orang-orang yang kita percayakan untuk berdiri di antara yang benar dan yang salah, menjaga agar hukum tetap menjadi panglima dan tak tergoyahkan oleh kuasa maupun uang. Namun, di negeri ini, ironi yang menyakitkan justru kerap terjadi: mereka yang seharusnya menegakkan hukum malah jadi pelanggarnya. Dan ketika operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan oleh lembaga seperti KPK terhadap aparat penegak hukum, kita pun berhadapan dengan kenyataan pahit—bahwa kepercayaan itu tengah runtuh, sedikit demi sedikit.
Tidak bisa dipungkiri, fakta menunjukkan bahwa kasus aparat penegak hukum yang terjerat OTT bukan hanya sekadar satu dua. Data KPK sampai tahun 2023 mencatat ada 137 aparat yang tertangkap OTT. Dari jumlah itu, ada hakim, jaksa, dan polisi—semuanya pernah bersumpah untuk menegakkan hukum seadil-adilnya. Tapi entah karena tekanan, godaan, atau sistem yang tidak mendukung integritas, mereka akhirnya tergelincir. Jumlah itu bukan sekadar angka. Ia mewakili kepercayaan publik yang dikhianati. Ia mewakili harapan rakyat yang padam. Ia mewakili luka yang dalam bagi mereka yang masih percaya bahwa hukum bisa jadi jalan menuju kebaikan bersama.
Tiba-tiba, muncul wacana bahwa aparat penegak hukum sebaiknya tidak dijerat OTT. Katanya, demi menjaga marwah institusi, demi menghindari kegaduhan. Tentu, niat menjaga institusi itu baik. Tapi bagaimana mungkin kita menjaga marwah dengan cara menutup-nutupi kebusukan? Apakah lebih penting citra atau kenyataan? Apakah kita lebih takut pada rasa malu ketimbang pada ketidakadilan yang terus tumbuh di balik meja-meja sidang dan ruang-ruang gelap pertemuan rahasia?
Ada pula yang beralasan, biarkan mekanisme internal yang menyelesaikan. Tapi jujur saja, kita semua tahu bahwa mekanisme internal sering kali tumpul ke dalam dan tajam ke luar. Seringkali tidak ada transparansi, tidak ada akuntabilitas. Justru di situlah OTT menjadi penting—karena ia menunjukkan bahwa keadilan tidak boleh menunggu, bahwa hukum bisa hadir tiba-tiba, di saat semua orang mengira ia sedang tertidur.
Namun, ini juga jadi momen refleksi. Mengapa sampai ada aparat penegak hukum yang terjerat? Apa yang salah dalam sistem kita? Barangkali, sejak awal, proses rekrutmen tidak menempatkan integritas sebagai nilai utama. Barangkali pendidikan hukum kita terlalu fokus pada pasal dan prosedur, tapi melupakan bahwa hukum sejatinya adalah soal hati nurani. Aparat penegak hukum bukan sekadar mesin pemroses perkara, mereka adalah manusia yang punya kuasa luar biasa atas hidup orang lain. Maka mereka harus dilengkapi bukan hanya dengan pengetahuan, tapi juga keberanian moral.
Untuk itu, ada beberapa langkah sederhana tapi penting. Kita butuh sistem rekrutmen yang lebih jujur dan transparan, bebas dari kolusi. Pendidikan hukum harus kembali menekankan nilai-nilai etika, keadilan, dan empati. Harus ada perlindungan nyata bagi mereka yang ingin jujur—yang berani menolak perintah atasan jika itu bertentangan dengan hukum. Dan yang tidak kalah penting, pengawasan dari luar institusi harus terus diperkuat. Masyarakat, media, dan lembaga-lembaga independen harus diberi ruang untuk mengawasi dan bertanya.
Dalam kaca mata filsafat, aparat penegak hukum ideal itu bukan hanya yang tahu hukum, tapi yang mencintai keadilan. Dalam pemikiran Plato, penjaga kota haruslah mereka yang memiliki jiwa yang terlatih dalam kebenaran—bukan karena takut hukuman, tapi karena mereka tahu bahwa keadilan adalah tujuan hidup bersama. Dalam pandangan Immanuel Kant, tindakan baik bukan karena takut tertangkap, tapi karena merasa bertanggung jawab secara moral. Maka, menjadi hakim, jaksa, atau polisi itu bukan sekadar pekerjaan—itu panggilan. Sebuah amanah yang begitu berat, karena yang dipertaruhkan bukan hanya hukum, tapi nasib dan harapan manusia.
Fenomena OTT ini, jika direnungkan lebih dalam, adalah cermin bagi kita semua. Ia bukan hanya memperlihatkan siapa yang korup, tapi juga siapa yang membiarkan. Kita, sebagai masyarakat, juga harus bertanya: apakah kita sudah cukup vokal dalam menuntut keadilan? Apakah kita terlalu mudah memaafkan, atau terlalu cepat melupakan? OTT itu penting bukan karena dramanya, tapi karena ia adalah jeritan keadilan yang berhasil menembus tembok diam.
Kita tidak bisa terus hidup dalam kepalsuan. Menutupi pelanggaran atas nama menjaga institusi adalah bentuk pengkhianatan terhadap makna sejati dari hukum. Kalau memang ingin menjaga kehormatan institusi, bersihkanlah dari dalam. Jangan biarkan orang-orang yang mencemari institusi tetap duduk dengan nyaman di kursi kekuasaan. Marwah tidak dibangun dengan keheningan, tapi dengan keberanian untuk berubah.
Akhirnya, kita harus percaya bahwa hukum bisa menjadi jalan harapan, bukan jalan ketakutan. Kita bisa memiliki aparat penegak hukum yang kita hormati bukan karena pangkatnya, tapi karena kejujurannya. Kita bisa menciptakan sistem hukum yang membuat masyarakat merasa aman, bukan takut. Dan kita bisa menjadikan OTT bukan sebagai momok, tapi sebagai pengingat: bahwa hukum itu hidup, dan ia akan mengejar siapa pun yang mengkhianatinya.
Jika ada satu pesan yang ingin disampaikan dari semua ini, mungkin sederhana saja: jangan pernah membungkam keadilan atas nama kehormatan. Karena sejatinya, kehormatan itu lahir justru dari keberanian untuk mengakui kesalahan, memperbaiki diri, dan tetap berdiri tegak di jalan yang benar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI