Mohon tunggu...
Fr. Fransesco Agnes Ranubaya
Fr. Fransesco Agnes Ranubaya Mohon Tunggu... Calon Imam Diosesan Keuskupan Ketapang Kalbar

Penulis Majalah DUTA Pontianak, Ordo Fransiskan Sekuler (OFS) Regio Kalimantan, Calon Imam Diosesan Keuskupan Ketapang Kalbar, Alumni UWD Fak. Sistem Informasi (S1), dan Mahasiswa STFT Widya Sasana Malang Prodi. Filsafat Keilahian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia Darurat Pelecehan Seksual

16 Mei 2025   08:35 Diperbarui: 16 Mei 2025   08:35 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: AI)

Di tengah gegap gempita pembangunan dan modernisasi, Indonesia diam-diam menghadapi luka sosial yang dalam yakni darurat pelecehan seksual. Ini bukan hanya soal angka atau berita yang lewat di layar kaca, melainkan soal tubuh dan jiwa yang dilukai, hak-hak yang dirampas, serta trauma yang menempel seumur hidup. Fenomena ini menjadi alarm keras bahwa kita sedang hidup dalam masyarakat yang gagal menjamin rasa aman---bahkan untuk sekadar berjalan di jalanan, naik transportasi umum, atau bahkan berada di rumah sendiri.

Dalam dua tahun terakhir, data mencatat peningkatan kasus yang mengkhawatirkan. Komnas Perempuan merilis bahwa ada 4.179 kasus kekerasan seksual pada 2022--2023. Dari jumlah itu, kekerasan seksual berbasis elektronik mendominasi, menunjukkan bahwa dunia maya pun kini menjadi ladang baru bagi kekerasan terhadap perempuan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat 8.674 anak mengalami kekerasan seksual sepanjang 2024. Itu artinya, setiap hari, puluhan anak mengalami kekerasan yang mungkin akan menghantui mereka sepanjang hidup. Realitas ini menunjukkan bahwa masalah ini bukan sekadar individual atau insidental---ia adalah sistemik.

Sayangnya, banyak kasus tidak pernah sampai ke meja hukum. Ketakutan, rasa malu, dan stigma membuat korban memilih diam. Banyak dari mereka yang melaporkan justru harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan: "Kamu pakai baju apa?", "Kenapa kamu di tempat itu malam-malam?", "Sudah biasa saja, laki-laki memang begitu." Alih-alih dilindungi, mereka dihakimi. Alih-alih ditemani, mereka ditinggalkan sendiri dalam trauma yang sunyi.

Dalam ranah filsafat, para pemikir feminis sejak lama mengungkap akar struktural dari pelecehan seksual. Catharine MacKinnon menyatakan bahwa pelecehan seksual adalah produk dari sistem sosial yang menormalisasi dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan. Ia menyebut hukum yang ada sering kali tidak netral, melainkan dibentuk dari pengalaman dan nilai-nilai maskulin. Andrea Dworkin bahkan lebih tajam. Ia melihat bahwa budaya yang mengobjektifikasi perempuan melalui media, pornografi, dan iklan, memperkuat narasi bahwa tubuh perempuan adalah sesuatu yang bisa dikonsumsi. Ketika seorang perempuan dipandang hanya sebagai tubuh, kekerasan menjadi lebih mudah dilakukan, dan lebih sulit dianggap sebagai kesalahan.

Kita hidup dalam struktur yang memungkinkan kekerasan itu terus hidup. Budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kuasa utama menciptakan ruang di mana pelecehan dianggap lumrah, bahkan dianggap sebagai "candaan", "rayuan", atau "pengalaman biasa". Ketimpangan pendidikan seksual juga turut menyumbang persoalan ini. Banyak orang dewasa yang tidak memahami batasan-batasan consent, tidak tahu bahwa sentuhan yang tidak diminta adalah bentuk kekerasan. Di sisi lain, anak-anak tidak diberikan pengetahuan yang cukup untuk memahami kapan mereka sedang dilecehkan, apalagi melawan atau melapor.

Ada juga peran besar dari sistem hukum yang belum sepenuhnya berpihak kepada korban. Meskipun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah disahkan, pelaksanaannya masih menghadapi banyak hambatan. Aparat penegak hukum sering tidak memiliki pelatihan khusus untuk menangani kasus-kasus sensitif ini. Banyak korban akhirnya harus menceritakan kembali pengalamannya berulang kali di hadapan orang-orang asing yang tidak menunjukkan empati, bahkan tidak jarang meremehkan.

Namun, bukan berarti harapan telah mati. Upaya-upaya pencegahan dan perlindungan korban mulai tumbuh. Pendidikan seksual yang komprehensif kini mulai diperjuangkan di sekolah-sekolah. Ini bukan sekadar tentang reproduksi, tetapi tentang hak, integritas tubuh, batasan, dan konsen. Ini tentang mengajarkan anak laki-laki untuk menghargai, dan anak perempuan untuk berani berkata "tidak".

Kampanye kesadaran publik, baik melalui media sosial maupun komunitas akar rumput, juga memainkan peran penting. Tagar-tagarnya mungkin sederhana, tapi dampaknya besar: #MeToo, #LawanBersama, #BeraniBersuara. Mereka membuka ruang bagi korban untuk merasa tidak sendirian. Bahwa mereka didengar. Bahwa luka mereka penting.

Di beberapa kota, layanan dukungan bagi korban juga mulai tersedia---pusat krisis, layanan konseling, bantuan hukum, hingga tempat perlindungan. Perjuangan ini memang masih panjang, tetapi setiap langkah kecil adalah nyawa yang diselamatkan.

Dari sudut pandang filosofis, kita bisa melihat masalah ini melalui lensa etika kepedulian. Carol Gilligan mengkritik etika tradisional yang terlalu menekankan pada hukum dan logika, dan mengusulkan pendekatan yang lebih empatik---berbasis relasi dan perhatian terhadap yang lemah. Etika seperti ini mendesak kita untuk tidak hanya menyalahkan pelaku dan mengatur ulang hukum, tetapi juga membangun komunitas yang saling menjaga dan peduli. Dalam komunitas seperti itu, pelecehan seksual bukan hanya dilawan, tapi dicegah sejak dini.

Filsuf Emmanuel Levinas mengajarkan bahwa wajah orang lain adalah panggilan moral tertinggi. Dalam melihat korban kekerasan seksual, kita harus berhenti melihat mereka sebagai "kasus" atau "data statistik", dan mulai melihat mereka sebagai wajah yang menyerukan tanggung jawab etis kita. Tugas kita bukan hanya tidak menyakiti mereka, tapi aktif menjaga mereka dari kekerasan, dari pengabaian, dari kesunyian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun