Hujan deras yang mengguyur Kota Medan sejak Sabtu malam 11 Oktober 2025, kembali membawa kabar muram keesokan harinya. Minggu pagi, 12 Oktober, Sungai Deli meluap. Air naik cepat, membanjiri pemukiman warga di beberapa titik langganan seperti Medan Maimun, Medan Johor, dan Medan Baru. Di media sosial, video air keruh yang menyerbu rumah warga viral dalam hitungan jam. Namun bukan hanya air yang meluap, amarah warga pun ikut naik, menyatu dengan kelelahan yang sudah bertahun-tahun mereka rasakan setiap musim hujan tiba.
Masalah Sungai Deli tak lagi bisa disebut sekadar bencana alam. Ia telah berubah menjadi potret kegagalan tata kelola kota, kegagalan berpikir jauh ke depan, dan kegagalan menempatkan kesejahteraan warga di atas kepentingan birokrasi. Di sinilah letak persoalan sesungguhnya: bukan karena air hujan terlalu banyak, tapi karena keseriusan pemerintah terlalu sedikit.
Ketika Sungai Jadi Cermin Kota yang Gagal Menata Diri
Sungai Deli adalah saksi bisu perjalanan panjang Kota Medan. Dulu, sungai ini menjadi urat nadi perdagangan dan kehidupan. Namun kini, yang tersisa hanyalah arus keruh dan tumpukan sampah yang mengalir dari hulu ke hilir tanpa arah. Airnya bukan lagi sumber kehidupan, melainkan sumber kekhawatiran.
Medan tumbuh cepat, tetapi tanpa arah yang jelas. Gedung-gedung baru berdiri megah, sementara saluran air di bawahnya sudah tak mampu menampung volume air hujan yang terus meningkat akibat perubahan iklim. Sungai Deli pun semakin menyempit, ditekan oleh bangunan liar dan permukiman padat yang berdiri di tepiannya. Pemerintah tahu, tapi jarang bertindak tegas. Normalisasi sungai hanya sebatas proyek musiman. Begitu air surut, perhatian pun ikut surut.
Pemerintah sering berdalih bahwa relokasi warga bantaran sungai adalah persoalan sosial yang rumit. Tapi kerumitan itu tak bisa dijadikan alasan untuk membiarkan ribuan warga hidup di bawah bayang-bayang banjir. Ini soal kemauan politik, bukan sekadar kemampuan teknis. Jika Jakarta bisa menata sebagian daerah bantaran Ciliwung dengan tegas, mengapa Medan tidak bisa melakukan hal yang sama terhadap Sungai Deli?
Ketidaksiapan yang Selalu Berulang
Setiap kali banjir datang, pola reaksi pemerintah kota selalu sama: turun ke lapangan, bagi-bagi bantuan, dan berfoto di lokasi bencana. Semua seolah menjadi rutinitas yang dijalankan dengan baik, tapi tanpa makna yang mendalam. Padahal, yang dibutuhkan warga bukan sekadar bantuan beras atau selimut, melainkan jaminan bahwa rumah mereka tidak akan lagi terendam air tahun depan.
Ketidaksiapan pemerintah Medan tampak begitu telanjang di hadapan publik. Peringatan dini cuaca jarang diterjemahkan menjadi aksi nyata. Drainase yang rusak dibiarkan bertahun-tahun tanpa perbaikan menyeluruh. Pekerjaan pembersihan sungai sering dilakukan hanya menjelang musim hujan, seakan urusan air bisa diselesaikan dengan kerja setengah hati.
Padahal, Medan bukan kota kecil. Sebagai salah satu metropolitan terbesar di luar Pulau Jawa, Medan seharusnya menjadi contoh dalam penataan kota dan mitigasi bencana. Tapi justru di sinilah kontradiksinya. Kota yang ramai dan modern ini ternyata masih gagal mengatasi masalah paling dasar: mengelola air hujan.