Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rakyat Dipajaki Demi Fasilitas Pejabat, Pantaskah?

29 Agustus 2025   07:20 Diperbarui: 29 Agustus 2025   06:13 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi DPR (KOMPAS.com/FIKA NURUL ULYA)

Setiap kali berbicara soal pajak, yang muncul di benak rakyat adalah kewajiban. Gaji yang dipotong, belanja yang dikenai PPN, kendaraan yang terkena pajak tahunan, hingga rumah yang tak luput dari beban. Pajak hadir di setiap sudut kehidupan masyarakat. Ironisnya, ketika rakyat berusaha patuh dan taat, sering muncul kabar yang membuat dahi berkerut. Anggaran besar mengalir ke fasilitas pejabat: mobil mewah, kantor serba baru, perjalanan dinas ke luar negeri dengan biaya fantastis, bahkan renovasi rumah dinas yang nilainya miliaran. Pertanyaannya, apakah adil bila rakyat menanggung beban hanya untuk memanjakan pejabat?

Pajak sebagai Janji yang Belum Tuntas

Pajak dalam idealisme kenegaraan adalah janji timbal balik antara rakyat dan negara. Rakyat menyerahkan sebagian penghasilannya dengan keyakinan bahwa negara akan mengelola demi kebaikan bersama. Dalam teori fiskal modern, pajak diposisikan sebagai alat redistribusi, sarana menciptakan kesejahteraan, sekaligus jaminan sosial untuk kelompok rentan. Namun yang sering muncul justru paradoks. Rakyat taat membayar, tapi manfaat terasa timpang.

Di sinilah masalah krusial muncul. Kepercayaan publik terhadap pajak melemah bukan karena rakyat enggan berkontribusi, melainkan karena bukti nyata yang terlihat tidak seimbang. Bayangkan, di sebuah desa, sekolah masih berdinding kayu, anak-anak belajar tanpa meja layak, sementara di pusat kota pejabat menikmati kursi empuk di ruang rapat yang baru direnovasi. Ketimpangan visual semacam itu lebih menyakitkan daripada angka statistik apa pun. Pajak seolah kehilangan makna sebagai janji kebersamaan dan berubah menjadi beban sepihak.

Fenomena ini juga menimbulkan risiko besar. Ketika rakyat merasa tidak diuntungkan, maka semangat untuk patuh bisa terkikis. Pajak pada akhirnya dianggap sekadar pungutan paksa, bukan kontribusi sadar. Jika kepercayaan terkikis, fondasi fiskal negara pun bisa rapuh. Maka sebenarnya masalah ini bukan hanya soal uang yang bocor, tapi juga soal bagaimana negara menjaga legitimasi moralnya di mata rakyat.

Fasilitas Pejabat yang Kontras dengan Realita Rakyat

Isu mengenai fasilitas pejabat selalu menimbulkan pro dan kontra. Pejabat memang membutuhkan sarana agar bisa menjalankan tugas secara efektif. Namun persoalannya, batas antara kebutuhan dan kemewahan sering kabur. Mobil dinas mewah sering dipertanyakan, renovasi kantor berulang kali menimbulkan curiga, hingga perjalanan dinas ke luar negeri yang sering dianggap sekadar wisata terselubung. Publik semakin kritis, terlebih di era informasi digital ketika setiap angka anggaran bisa dengan cepat menyebar di media sosial.

Kontrasnya begitu nyata. Di banyak daerah, rakyat harus berjalan jauh untuk mendapatkan layanan kesehatan, guru honorer masih berjuang dengan gaji minim, petani kesulitan pupuk, nelayan resah karena biaya produksi tinggi. Namun di layar berita, yang tampak adalah pejabat menikmati fasilitas negara dengan segala kenyamanan. Ironi ini menimbulkan pertanyaan etis yang tajam: apakah uang pajak yang dikumpulkan dari keringat rakyat sudah dikelola dengan benar?

Dalam perspektif moral, keadilan anggaran seharusnya menempatkan rakyat sebagai pusat. Pejabat hanyalah perantara, bukan penerima utama manfaat. Jika fasilitas mereka justru melampaui batas kewajaran, maka prioritas telah melenceng. Di titik inilah kritik masyarakat menemukan dasar yang kuat, sebab keadilan bukan soal pembagian angka di atas kertas, melainkan rasa adil yang dirasakan rakyat sehari-hari.

Mengapa Ketidakadilan Ini Terus Terjadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun