Menyebut DPR sebagai rumah rakyat terdengar indah di telinga, tapi setiap kali rakyat datang menyampaikan aspirasinya melalui demonstrasi, yang terlihat justru pagar tinggi, aparat keamanan, dan ruang kosong yang sulit ditembus. Pertanyaan sederhana muncul, benarkah DPR masih layak disebut rumah rakyat kalau penghuninya enggan menemui tamu yang mengetuk pintu?
Kekecewaan ini tidak lahir tiba-tiba. Ia tumbuh dari pengalaman panjang masyarakat yang merasa jauh dari para wakilnya sendiri. Dalam bayangan banyak orang, anggota DPR seharusnya hadir di tengah rakyat, mendengarkan keluhan mereka, lalu menjembatani suara itu ke ruang sidang. Tetapi yang kerap terjadi justru sebaliknya, rakyat berteriak di luar, sementara di dalam gedung para wakil rakyat rapat, berbincang, atau bahkan diam.
Jarak yang Makin Melebar
Hubungan antara rakyat dan DPR sebenarnya sederhana: rakyat memberi mandat melalui pemilu, lalu DPR menjalankan amanah itu. Tetapi dalam praktiknya, hubungan itu tidak berjalan mulus. Banyak yang menilai DPR semakin terpisah dari denyut kehidupan masyarakat.
Demonstrasi menjadi salah satu cermin paling jelas. Saat rakyat berbondong-bondong menyampaikan aspirasi, mereka berharap ada dialog terbuka. Namun yang tampak justru pagar besi dan barisan aparat. Anggota DPR yang seharusnya menjadi wajah lembaga itu jarang muncul menyapa massa. Kalaupun ada, sering hanya satu atau dua orang, itupun sekadar formalitas.
Kondisi ini menciptakan jurang psikologis. Rakyat merasa diabaikan, sementara DPR merasa sudah cukup mendengar lewat jalur resmi. Padahal demokrasi bukan hanya soal prosedur, tetapi juga soal rasa memiliki dan didengar. Ketika DPR lebih sering bersembunyi di balik prosedur formal, rakyat melihatnya sebagai tanda keengganan, bahkan ketidakpedulian.
Jika jurang ini terus dibiarkan, lama-lama akan muncul krisis kepercayaan. Rakyat bisa merasa tidak ada lagi gunanya menyampaikan aspirasi karena wakilnya sudah tidak peduli. Di sisi lain, DPR akan semakin kehilangan legitimasi moral meski secara hukum mereka sah dipilih.
Mengapa DPR Takut Menyapa Rakyat
Ada banyak alasan yang bisa menjelaskan mengapa DPR tampak enggan hadir di tengah demonstrasi. Sebagian berhubungan dengan keamanan, sebagian dengan cara pandang politik, dan sebagian lagi dengan mentalitas yang terbentuk di ruang kekuasaan.
Ketakutan akan kericuhan sering jadi alasan utama. Tidak bisa dipungkiri, demonstrasi kadang berujung bentrok, entah karena emosi massa atau respons aparat yang berlebihan. Anggota DPR mungkin khawatir kehadiran mereka justru memicu situasi semakin panas. Kekhawatiran ini bisa dimengerti, tetapi jika terus dijadikan alasan, maka fungsi wakil rakyat akan kehilangan makna.