Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jalan Terjal Mencari Kerja di Indonesia

22 Agustus 2025   09:20 Diperbarui: 22 Agustus 2025   07:30 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Job fair (KOMPAS.com/Febryan Kevin)

Mencari pekerjaan di Indonesia bukan sekadar urusan melamar lowongan lalu menunggu panggilan. Di balik setiap CV yang dikirim ada kisah panjang tentang harapan, kegelisahan, dan pertarungan dengan kenyataan. Banyak orang sering menggambarkannya sebagai perjuangan melewati jalan terjal, sebuah perjalanan yang melelahkan namun penuh pelajaran hidup.

Fenomena ini bukan hal baru, tapi cara kita melihatnya bisa berbeda. Selama ini persoalan pengangguran dan sulitnya mencari kerja sering dibicarakan hanya dalam angka statistik. Padahal di balik angka-angka itu ada cerita manusia, ada kehidupan nyata, ada generasi muda yang sedang berusaha membangun masa depan. Di sinilah pentingnya mengupas persoalan ini secara lebih dalam, bukan hanya dari sisi peluang kerja yang terbatas, melainkan juga bagaimana budaya, mentalitas, hingga cara pandang masyarakat membentuk wajah pasar kerja di Indonesia.

Harapan yang Sering Tidak Sejalan dengan Kenyataan

Setiap tahun, ribuan mahasiswa lulus dengan semangat tinggi untuk segera bekerja. Banyak yang yakin bahwa gelar sarjana menjadi tiket utama masuk ke dunia kerja. Namun begitu melangkah, realitas sering kali mematahkan ekspektasi. Perusahaan tidak hanya menuntut ijazah, tapi juga pengalaman, keterampilan tambahan, bahkan jaringan relasi yang luas.

Bagi lulusan baru, permintaan itu sering terasa seperti tembok tinggi yang sulit ditembus. Bagaimana mungkin mereka bisa memiliki pengalaman kerja jika kesempatan untuk memulai saja sudah tertutup sejak awal. Akhirnya tidak sedikit yang terjebak dalam lingkaran yang melelahkan: butuh pengalaman untuk bekerja, tapi butuh pekerjaan untuk mendapatkan pengalaman.

Kenyataan pahit ini menimbulkan frustrasi. Banyak pencari kerja merasa gagal sebelum sempat mencoba. Tekanan datang dari berbagai arah, termasuk keluarga dan lingkungan yang menuntut segera mendapatkan pekerjaan tetap. Tidak jarang rasa percaya diri mereka terkikis, bahkan ada yang mulai mempertanyakan apakah pendidikan yang ditempuh selama bertahun-tahun benar-benar relevan dengan kebutuhan industri.

Namun dari sisi lain, situasi ini juga menjadi cermin bahwa dunia kerja di Indonesia sedang bergerak cepat. Kebutuhan perusahaan berubah seiring perkembangan teknologi, sementara kurikulum pendidikan sering tertinggal. Perbedaan ritme inilah yang menciptakan jurang antara dunia kampus dan dunia kerja.

Persaingan yang Semakin Padat

Jumlah pencari kerja di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Lulusan SMA, SMK, diploma, hingga sarjana berbondong-bondong masuk ke pasar kerja. Sayangnya, jumlah lapangan kerja formal tidak berkembang secepat itu. Persaingan pun semakin ketat, ibarat jalan sempit yang dilalui ribuan orang sekaligus.

Kondisi ini sering melahirkan ironi. Orang-orang dengan kualifikasi tinggi terpaksa menerima pekerjaan di luar bidangnya, bahkan pekerjaan dengan gaji rendah, hanya demi bertahan hidup. Fenomena ini biasa disebut sebagai underemployment atau bekerja di bawah kapasitas. Di satu sisi mereka bersyukur tidak menganggur, tapi di sisi lain ada rasa kecewa karena potensi yang dimiliki tidak digunakan secara optimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun