Indonesia sedang berada pada persimpangan sejarah. Para ahli demografi memperkirakan bahwa negeri ini akan mengalami puncak bonus demografi sekitar tahun 2030-an, sebuah periode di mana jumlah penduduk usia produktif jauh lebih besar dibandingkan mereka yang tidak produktif. Dari sudut pandang statistik, ini tampak seperti hadiah yang bisa membawa Indonesia naik kelas menjadi negara maju. Namun, sejarah membuktikan bahwa tidak semua negara berhasil memanfaatkan peluang emas ini. Pertanyaannya, apakah Indonesia akan menjadi contoh sukses atau justru terjebak dalam jebakan demografi?
Bonus Demografi Peluang atau Ilusi?
Banyak orang membayangkan bonus demografi sebagai pintu emas bagi suatu negara ntuk menuju kemakmuran. Gambaran yang sering muncul adalah ekonomi yang tumbuh pesat, kelas menengah yang makin besar, serta daya saing bangsa yang meningkat. Tapi sebenarnya, bonus demografi bukanlah sesuatu yang otomatis datang membawa keuntungan. Ini lebih tepat disebut sebagai potensi, bukan jaminan.
Ada banyak negara yang gagal mengubah bonus demografi menjadi keuntungan nyata. Beberapa negara di Afrika misalnya, mengalami ledakan penduduk usia produktif, namun sayang hal itu tanpa di bekali dengan pendidikan dan lapangan kerja yang cukup, bonus itu malah berubah menjadi bom waktu. Pengangguran meningkat, ketimpangan sosial melebar, bahkan ketidakstabilan politik pun lahir dari kegagalan mengelola ledakan demografi.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Secara jumlah, kita memang punya modal besar. Generasi muda Indonesia yang lahir setelah tahun 2000-an kini memasuki usia produktif. Mereka digital native, terbiasa dengan teknologi, kreatif, dan lebih terbuka dengan dunia. Namun, tanpa ekosistem yang mendukung, modal itu bisa terbuang sia-sia. Bonus demografi hanya akan menjadi ilusi indah yang gagal diwujudkan.
Pendidikan Antara Harapan dan Kenyataan
Kunci utama dalam menikmati bonus demografi ada pada kualitas sumber daya manusianya. Di sinilah pendidikan menjadi faktor penentu. Namun, kita harus jujur bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh dari ideal. Banyak sekolah masih terjebak pada pola lama yang terlalu menekankan hafalan ketimbang kemampuan berpikir kritis.
Dalam dunia yang berubah cepat, keterampilan seperti literasi digital, problem solving, kreativitas, dan komunikasi jauh lebih dibutuhkan ketimbang sekadar menguasai teori. Jika sistem pendidikan tidak mampu menyesuaikan diri, maka generasi produktif Indonesia hanya akan menjadi penonton dalam arus kompetisi global.
Lebih jauh, akses pendidikan juga masih timpang. Anak-anak di kota besar mungkin sudah menikmati fasilitas modern, sementara anak-anak di desa atau daerah terpencil masih berjuang dengan keterbatasan guru dan sarana belajar. Ketimpangan ini akan melahirkan kesenjangan dalam kualitas generasi muda kita. Bonus demografi hanya bisa dimanfaatkan jika seluruh anak muda, dari Sabang sampai Merauke, mendapatkan kesempatan pendidikan yang layak dan relevan dengan tantangan zaman.
Selain itu, pendidikan vokasi yang menghubungkan sekolah dengan dunia industri masih minim. Banyak lulusan sekolah dan perguruan tinggi tidak siap kerja karena apa yang mereka pelajari tidak sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Inilah PR besar jika kita ingin bonus demografi benar-benar menjadi motor penggerak kemajuan.