Krisis air bersih bukan lagi masalah masa depan. Ia sudah mengetuk pintu rumah kita hari ini. Dari kota besar sampai desa terpencil, cerita tentang air yang makin sulit didapat terdengar di mana-mana. Sumur-sumur mulai mengering, sumber mata air menyusut, dan sungai yang dulu jernih kini keruh penuh sampah. Ketika manusia mulai kehabisan akal mencari air, mata sebagian orang beralih ke langit. Dari sana datang ide yang sederhana tapi penuh potensi: memanen air hujan.
Tapi ada pertanyaan yang selalu mengikuti ide ini. Apakah air hujan aman untuk diminum atau digunakan sehari-hari? Atau jangan-jangan ini hanya solusi instan yang menyembunyikan risiko jangka panjang? Mari kita gali lebih dalam, bukan sekadar mengulang teori lama, tapi mencoba melihatnya dari sudut pandang yang jarang dibicarakan.
Krisis Air Bersih yang Kita Biarkan Memburuk
Masalah air bersih di Indonesia sebenarnya bukan hanya akibat kekurangan hujan. Banyak daerah justru kebanjiran setiap musim hujan, tapi tetap kesulitan air bersih di musim kemarau. Ironi ini terjadi karena kita gagal mengelola air dengan benar. Air hujan yang seharusnya bisa disimpan untuk masa kering justru dibiarkan mengalir ke laut bersama lumpur, limbah, dan sampah.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat bahwa setiap tahun, ratusan daerah mengalami kekeringan. Penyebabnya bukan hanya perubahan iklim, tetapi juga eksploitasi air tanah yang berlebihan, rusaknya daerah resapan, dan minimnya infrastruktur penampungan. Di kota besar, air tanah disedot tanpa kontrol untuk industri dan perumahan, membuat tanah ambles dan air laut menyusup jauh ke daratan.
Krisis ini terasa nyata bagi mereka yang harus mengantre berjam-jam demi seember air, atau membayar mahal untuk air galon. Ironisnya, saat hujan turun, air melimpah tanpa dimanfaatkan, seakan kita lupa bahwa hujan adalah sumber daya gratis yang datang tepat ke halaman rumah. Masalahnya, selama ini air hujan dianggap kurang layak diminum karena polusi, sehingga orang lebih memilih air tanah atau air kemasan.
Di sinilah letak tantangan dan peluangnya. Kalau kita bisa mengubah cara pandang, mengelola air hujan bukan hanya soal teknis, tapi juga soal mentalitas menghadapi krisis.
Air Hujan Bersih di Awal, Tercemar Saat Turun
Secara ilmiah, air hujan berasal dari proses penguapan air laut atau permukaan air lainnya. Proses ini seharusnya menghasilkan air yang sangat murni. Namun, sebelum mencapai tanah, air hujan melewati lapisan atmosfer yang penuh debu, partikel kimia, asap kendaraan, hingga sisa pembakaran pabrik. Semua itu bisa larut dalam tetesan hujan.
Itu baru polusi udara. Begitu air hujan jatuh di atap rumah, ia bisa membawa kotoran lain: daun kering, kotoran burung, serbuk cat, atau serpihan material atap. Karena itu, air hujan yang langsung ditampung tanpa penyaringan berisiko mengandung bakteri, logam berat, bahkan zat beracun.