Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Era Digital, Makan Bersama Keluarga Jadi Asing

13 Agustus 2025   19:14 Diperbarui: 13 Agustus 2025   19:14 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi makan bersama keluarga di rumah(Monkey Business Images)

Menariknya, sebagian orang merasa bahwa makan sambil bermain ponsel adalah hal wajar. Mereka beralasan bahwa itu cara untuk "santai" setelah lelah beraktivitas. Namun, tanpa disadari, kebiasaan ini membuat komunikasi keluarga menjadi dangkal. Percakapan hanya sebatas "makanannya enak" atau "tolong ambilkan air" tanpa membahas hal-hal yang membangun kedekatan.

Fenomena ini juga diperparah oleh budaya media sosial yang mendorong kita untuk membagikan setiap momen. Alih-alih menikmati makanan bersama keluarga, banyak orang sibuk mengambil foto dari berbagai sudut lalu mengunggahnya. Momen yang seharusnya privat berubah menjadi konten publik, dan fokus berpindah dari rasa kebersamaan menjadi pencarian validasi dari orang lain.

Dampak Sosial yang Lebih Besar dari Sekadar Hilangnya Obrolan

Hilangnya tradisi makan bersama bukan hanya soal tidak adanya percakapan di meja makan. Ini adalah gejala dari perubahan sosial yang lebih besar. Ketika keluarga jarang makan bersama, kualitas hubungan di dalam rumah perlahan menurun. Anak-anak mungkin merasa kurang didengar, sementara orang tua kehilangan kesempatan untuk memahami kehidupan sehari-hari anak mereka.

Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa keluarga yang rutin makan bersama cenderung memiliki hubungan emosional yang lebih erat. Anak-anak di keluarga tersebut juga lebih percaya diri, memiliki kemampuan komunikasi yang lebih baik, dan lebih sedikit terlibat dalam perilaku berisiko. Sebaliknya, keluarga yang jarang makan bersama cenderung memiliki jarak emosional yang lebih besar.

Dampak ini tidak selalu langsung terasa. Ia bekerja pelan, merembes ke dalam pola interaksi keluarga. Pada awalnya, semua terlihat normal. Tapi, ketika masalah muncul---misalnya anak mulai menarik diri atau hubungan orang tua renggang---kita baru menyadari betapa pentingnya momen-momen sederhana seperti makan bersama.

Selain itu, hilangnya makan bersama juga memengaruhi kesehatan mental. Dalam kondisi dunia yang semakin cepat dan penuh tekanan, makan bersama seharusnya menjadi "ruang jeda" yang memberi rasa aman. Tanpa itu, banyak orang kehilangan kesempatan untuk melepaskan stres melalui percakapan santai dan tawa bersama keluarga.

Menghidupkan Kembali Tradisi di Tengah Arus Digital

Mungkin terdengar sulit untuk mengembalikan tradisi makan bersama di era di mana semua orang sibuk dan teknologi begitu mendominasi. Namun, bukan berarti mustahil. Kuncinya ada pada kesadaran bahwa makan bersama bukan sekadar soal makan, melainkan soal hadir secara penuh untuk orang-orang yang kita sayangi.

Menghidupkan kembali tradisi ini tidak berarti harus memutus total hubungan dengan teknologi. Justru, teknologi bisa kita manfaatkan untuk mendukung kebersamaan. Misalnya, menggunakan chat keluarga untuk menentukan jadwal makan bersama atau berbagi resep yang akan dimasak. Namun, saat momen makan tiba, teknologi sebaiknya "dijeda" agar fokus tetap pada interaksi nyata.

Langkah lain yang bisa dilakukan adalah menjadikan makan bersama sebagai pengalaman yang menyenangkan. Ciptakan suasana yang hangat, mulai dari penataan meja hingga pemilihan menu. Libatkan semua anggota keluarga dalam prosesnya. Dengan begitu, makan bersama tidak terasa sebagai kewajiban, melainkan sebagai momen yang ditunggu-tunggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun