Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Miris Krisis Air Masih ada di Era Digital!

10 Agustus 2025   09:37 Diperbarui: 10 Agustus 2025   08:43 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI Krisis Air Bersih | HERYUNANTO/KOMPAS)

Kita hidup di era ketika teknologi terasa tak punya batas. Telepon genggam bisa memesan makanan, memanggil kendaraan, bahkan mengatur suhu ruangan tanpa kita beranjak dari kursi. Kecerdasan buatan mampu membuat gambar realistis hanya dari sebuah kata, dan roket bisa mendarat kembali di bumi dengan presisi. Namun di balik kemegahan itu, ada kenyataan pahit yang sering kita abaikan: di banyak tempat, orang masih kesulitan mendapatkan air bersih. Bukan hanya di pedalaman atau negara miskin, tetapi juga di pinggiran kota besar yang dikelilingi gedung bertingkat dan jaringan internet cepat.

 Sebab pada akhirnya, masalah air bersih bukan sekadar soal sumber daya alam, tetapi soal cara kita sebagai manusia mengelola, menghargai, dan membaginya.

Teknologi Canggih, Akses Air Bersih Tertinggal

Jika melihat berita teknologi, rasanya dunia sedang melaju di jalur cepat. Ada negara yang menguji mobil terbang, ada universitas yang membuat jaringan internet berbasis satelit untuk daerah terpencil, dan ada perusahaan raksasa yang sedang mengembangkan komputer kuantum. Semua terdengar futuristik. Tapi ironisnya, di balik layar kemajuan itu, masih banyak keluarga yang harus menenteng jeriken ke sumur umum setiap hari. Dunia digital lebih fokus pada solusi yang bisa dijual mahal atau dipamerkan dalam konferensi besar, sedangkan air bersih dianggap masalah tradisional yang tidak terlalu menarik investor. Padahal tanpa air, semua inovasi itu akan terasa sia-sia. Tidak ada gunanya punya laptop canggih kalau tubuh kita dehidrasi.

Akses air bersih yang tertinggal ini juga adalah kesenjangan dalam prioritas global. Ketika miliaran dolar dihabiskan untuk membangun metaverse atau mengirim manusia ke Mars, masih ada wilayah yang tidak punya jaringan pipa air. Ini bukan berarti teknologi salah arah, tetapi kita perlu mengakui ada bias dalam cara dunia memandang kemajuan. Kita sering menganggap modernitas hanya diukur dari kemajuan digital, padahal kualitas hidup jauh lebih kompleks.

Masalah Air Bukan Hanya Tentang Alam

Sering kali krisis air bersih digambarkan sebagai akibat langsung dari alam. Kita mendengar alasan seperti kemarau panjang, perubahan iklim, atau polusi. Semua itu memang benar adanya, tapi hanya separuh cerita. Separuh lainnya adalah masalah buatan manusia.

Kita bisa melihat contohnya di kota besar. Banjir terjadi setiap musim hujan, tapi saat kemarau, air justru sulit didapat. Mengapa? Karena tata kelola air yang buruk membuat hujan deras tidak dimanfaatkan untuk mengisi cadangan, melainkan langsung mengalir ke laut. Saluran air tersumbat sampah, waduk tak terawat, dan lahan resapan air semakin berkurang karena dipenuhi beton.

Selain itu, ada masalah distribusi yang timpang. Beberapa kawasan bisa menikmati air ledeng 24 jam, sedangkan kawasan lain harus membeli air galon dengan harga tinggi. Air bersih seakan menjadi komoditas, bukan hak dasar. Di beberapa tempat, bahkan terjadi privatisasi sumber air yang membuat warga sekitar harus membayar untuk menggunakan air dari wilayahnya sendiri.

Masalahnya makin rumit ketika kesadaran masyarakat untuk menjaga sumber air masih rendah. Limbah rumah tangga dibuang langsung ke sungai, penggunaan air bor tanpa aturan membuat cadangan tanah menipis, dan pencemaran industri menambah beban. Padahal di era informasi ini, edukasi tentang pentingnya menjaga air bisa diakses siapa saja. Artinya, masalahnya bukan kurangnya informasi, tapi lemahnya kemauan kolektif untuk berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun